SEJARAH
AMERIKA
“ Amerika Serikat dalam Pendirian Indonesia”
Disusun untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Amerika
Dosen Pengampu Dr.
Suranto, M.Pd.
Tugas Individu
Oleh:
MAGDALENA
YULI P.
120210302096
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN
SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Allah YME sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Sejarah Amerika “Amerika Sebagai
Pendiri Indonesia” yang merupakan salah satu dari komponen nilai tugas individu
mata kuliah Sejarah Amerika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara pada Jurusan Pendidikan Sejarah
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas jember.
Penyusunan makalah ini tidak lepas
dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena
itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1.
Dr. Suranto M.Pd., selaku
Dosen pengampu mata kuliah Sejarah Amerika yang telah membimbing;
2.
Teman-teman yang telah
memberi dorongan dan semangat;
3.
Semua pihak yang tidak
dapat disebutkan satu per satu.
Penulis juga menerima segala kritik
dan saran dari semua pihak demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya penulis berharap, semoga makalah ini
dapat bermanfaat.
Jember, Mei 2014
Penulis
DAFTAR ISI
2.2.1 Awal Mula
Keterlibatan.........................................................................................7
2.2.2 Intervensi
Amerika Serikat Dalam Pembebasan Irian Barat.................................8
2.3.1 Kelahiran
NATO...................................................................................................14
2.3.2 Ketidak
Percayaan Terhadap
Amerika................................................................15
2.3.3 Soemitro
Djojohadikusumo dan
Soejadmoko.....................................................16
2.3.4 Nasionalisme
Aset-aset Belanda di Indonesia.....................................................16
2.3.5 Dukungan
Besar CIA Pemebrontakan PRRI/PERMESTA......................................17
2.3.6 Agen Amerika
Serikat Tertangkap Bas................................................................18
2.3.7 Operasi Dua
Muka
AS..........................................................................................20
2.3.8 Tumbangnya
Soekarno Kabara Gembira Buat Washington................................21
2.3.9 Terbukanya
Upeti Besar dari
Asia.......................................................................23
1.1 Latar Belakang
Pemerintah
Amerika Serikat menjadi gerah dan gemes terhadap presiden pertama Indonesia,
mereka tidak suka dan dengan planning tertentu berusaha untuk memindahkan
kedudukan Sukarno dengan orang lain yang tentunya memihak dan mau menjadi
penjilat telapak kaki Negara Paman Sam. Indonesia sebagai objek utama Marshall
Plan desain Amerika, planing yang muncul sebagai sebuah ketakutan akut Amerika
jika Indonesia berubah menjadi Negara Komunis, Negara yang seirama dengan
UniSoviet musuh besar Amerika kala itu. Jelas perubahan Indonesia menjadi
Negara komunis akan menjadi sandungan besar bagi perjalanan hidup
neokolonialisme yang Amerika pilih.
Namun
untuk menundukkan Indonesia, AS jelas kesulitan karena negeri ini tengah
dipimpin oleh seorang yang sukar diatur, cerdas, dan licin. Dialah Bung Karno.
Tiada jalan lain, orang ini harus ditumbangkan, dengan berbagai cara. Sejarah
telah mencatat dengan baik bagaimana CIA ikut terlibat langsung berbagai
pemberontakan terhadap kekuasaan Bung Karno. CIA juga membina kader-kadernya di
bidang pendidikan (yang nantinya melahirkan Mafia Berkeley), mendekati dan
menunggangi partai politik demi kepentingannya (antara lain lewat PSI), membina
sel binaannya di ketentaraan (local army friend) dan sebagainya. Setelah
berkali-kali gagal mendongkel Bung Karno dan bahkan sampai hendak membunuhnya,
akhirnya pada paruh akhir 1965, Bung Karno berhasil disingkirkan.Salah satu hal yang paling prinsipil dari pergantian
kepemimpinan di Indonesia, dari Soekarno ke Suharto adalah bergantinya karakter
Indonesia dari sebuah bangsa yang berusaha menerapkan kemandirian berdasarkan
kedaulatan dan kemerdekaan, menjadi sebuah bangsa yang bergantung pada kekuatan
imperialisme dan kolonialisme Barat,” demikian Suar Suroso (Bung Karno, Korban
Perang Dingin; 2008).
Sehingga
amerika mulai ikut campur dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang memiliki
maksud dan tujuan tertentu.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimana peran Amerika di indonesia?
2.
Apa hubungan Amerika dalam Pembebasan Irian
Barat?
3.
Bagaimana peran CIA Dibalik Sejarah dan
Pemberontakan di Indonesia?
1.3 Tujuan
1.
Untuk mengetahui Peran Amerika di
Indonesia
2.
Untuk mengetahui Amerika dalam
Pembebasan Irian Barat
3.
Untuk mengetahui peran CIA Dibalik
Sejarah dan Pemberontakan di Indonesia
2.1 Peran Amerika di indonesia
Dalam
sejarah Republik ini, nasionalisasi perusahaan asing pernah menjadi kebijakan
resmi pemerintah, yang didukung oleh kekuatan politik progresif. Itu terjadi
pada masa pemerintahan Bung Karno di akhir tahun 1957. Kebijakan nasionalisasi ini muncul sebagai akibat dari
‘buntunya’ perjuangan mengembalikan Irian Barat dari tangan Belanda ke pangkuan
Republik Indonesia (RI) melalui jalur
diplomasi, pasca perjanjian konferensi meja bundar (KMB) 1949. Pemerintahan Bung Karno memutuskan untuk menghadapi
Belanda dengan cara frontal, yakni
membatalkan perjanjian KMB secara sepihak. Maka, di tahun 1956, kabinet
Ali Sastroamidjojo II membatalkan perjanjian KMB dengan Belanda secara
unilateral.
Organ-organ
yang terkait dengan PNI (Partai Nasional Indonesia) dan lainya, seperti SOBSI
(Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) dan KBM (Kesatuan Buruh
Marhaenis), menjadi pelopor dalam aksi-aksi massa menuntut pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda
dan asing lainnya, sebagai bentuk resistensi terhadap eksistensi kolonial
Belanda yang belum terlikuidasi sepenuhnya di Republik ini. Akhirnya,
pemerintah Bung Karno pun merespon keinginan massa rakyat tersebut.
Hasil rapat Kabinet Djuanda pada 28
November 1957 menghasilkan beberapa
keputusan penting terkait hal tersebut, antara lain: pemerintah memutuskan
untuk mendukung demonstrasi dan pengambillalihan beberapa perusahaan Belanda.
Disinilah terlihat sinergi antara pemerintahan Indonesia merdeka dibawah
pimpinan Bung Karno dan Djuanda dengan
gerakan-gerakan rakyat progresif yang disokong PNI dan PKI guna mengakhiri
kekuasaan ekonomi Belanda.
Hal-hal
semacam inilah yang membuat Pemerintah Amerika Serikat menjadi gerah dan gemes
terhadap presiden pertama Indonesia, mereka tidak suka dan dengan planning
tertentu berusaha untuk memindahkan kedudukan Sukarno dengan orang lain yang
tentunya memihak dan mau menjadi penjilat telapak kaki Negara Paman Sam.
Indonesia sebagai objek utama Marshall Plan desain Amerika, planing yang muncul
sebagai sebuah ketakutan akut Amerika jika Indonesia berubah menjadi Negara
Komunis, Negara yang seirama dengan UniSoviet musuh besar Amerika kala itu.
Jelas perubahan Indonesia menjadi Negara komunis akan menjadi sandungan besar
bagi perjalanan hidup neokolonialisme yang
Amerika pilih.
Namun
untuk menundukkan Indonesia, AS jelas kesulitan karena negeri ini tengah
dipimpin oleh seorang yang sukar diatur, cerdas, dan licin. Dialah Bung Karno.
Tiada jalan lain, orang ini harus ditumbangkan, dengan berbagai cara. Sejarah
telah mencatat dengan baik bagaimana CIA ikut terlibat langsung berbagai
pemberontakan terhadap kekuasaan Bung Karno. CIA juga membina kader-kadernya di
bidang pendidikan (yang nantinya melahirkan Mafia Berkeley), mendekati dan
menunggangi partai politik demi kepentingannya (antara lain lewat PSI), membina
sel binaannya di ketentaraan (local army friend) dan sebagainya. Setelah
berkali-kali gagal mendongkel Bung Karno dan bahkan sampai hendak membunuhnya,
akhirnya pada paruh akhir 1965, Bung Karno berhasil disingkirkan.
Setelah
peristiwa 1 Oktober 1965, secara defacto, Jenderal Suharto mengendalikan negeri
ini. Pekan ketiga sampai dengan awal 1966, Jenderal Suharto menugaskan para
kaki tangannya membantai mungkin jumlahnya mencapai jutaan orang. Mereka yang
dibunuh adalah orang-orang yang dituduh kader atau simpatisan komunis (PKI),
tanpa melewati proses pengadilan yangfair. Media internasional bungkam terhadap
kejahatan kemanusiaan yang melebihi kejahatan rezim Polpot di Kamboja ini,
karena memang AS sangat diuntungkan.Jatuhnya Bung Karno dan naiknya Jenderal
Suharto dirayakan dengan penuh suka cita oleh Washington. Bahkan Presiden Nixon
menyebutnya sebagai "Hadiah terbesar dari Asia Tenggara". Satu negeri
dengan wilayah yang sangat strategis, kaya raya dengan sumber daya alam, segenap
bahan tambang, dan sebagainya ini telah berhasil dikuasai dan dalam waktu
singkat akan dijadikan ‘sapi perahan' bagi kejayaan imperialisme Barat.
Benar
saja, Nopember 1967, Jenderal Suharto menugaskan satu tim ekonom pro-AS menemui
para'bos' Yahudi Internasional di Swiss. Disertasi Doktoral Brad Sampson, dari
Northwestern UniversityAS menelusuri fakta sejarah Indonesia di awal Orde Baru.
Prof. Jeffrey Winters diangkat sebagai promotornya. Indonesianis asal
Australia, John Pilger dalamThe New Rulers of The World, mengutip Sampson dan
menulis:"Dalam bulan November 1967, menyusul tertangkapnya ‘hadiah
terbesar' (istilah pemerintah AS untuk Indonesia setelah Bung Karno jatuh dan
digantikan oleh Soeharto), maka hasil tangkapannya itu dibagi-bagi. The Time Life
Corporation mensponsori konferensi istimewa di Jenewa, Swiss, yang dalam waktu
tiga hari membahas strategi pengambil-alihan Indonesia.
Para
pesertanya terdiri dari seluruh kapitalis yang paling berpengaruh di dunia,
orang-orang seperti David Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili
perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical
Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express,
Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel, ICI, Leman
Brothers, Asian Development Bank, Chase Manhattan, dan sebagainya."Di
seberang meja, duduk orang-orang Soeharto yang oleh Rockefeller dan
pengusaha-pengusaha Yahudi lainnya disebut sebagai ‘ekonom-ekonom Indonesia
yang korup'."Di Jenewa, Tim Indonesia tersebut terkenal dengan sebutan
‘The Berkeley Mafia' karena beberapa di antaranya pernah menikmati beasiswa
dari pemerintah Amerika Serikat untuk belajar di Universitas California di
Berkeley. Mereka datang sebagai peminta-minta yang menyuarakan hal-hal yang
diinginkan oleh para majikannya yang hadir. Menyodorkan butir-butir yang dijual
dari negara dan bangsanya.
Tim
Ekonomi Indonesia menawarkan: Tenaga buruh yang banyak dan murah, cadangan dan
sumber daya alam yang melimpah, dan pasar yang besar."Masih dalam kutipan
John Pilger, "Pada hari kedua, ekonomi Indonesia telah dibagi sektor demi
sektor." Prof. Jeffrey Winters menyebutnya, "Ini dilakukan dengan
cara yang amat spektakuler.""Mereka membaginya dalam lima seksi:
pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain, industri ringan di kamar
satunya, perbankan dan keuangan di kamar yang lain lagi; yang dilakukan oleh
Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi yang mendiktekan
kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh mereka dan para investor lainnya.
Kita saksikan para pemimpin korporasi besar ini berkeliling dari satu meja ke
meja lainnya, mengatakan, ‘Ini yang kami inginkan, itu yang kami inginkan, ini,
ini, dan ini.' Dan mereka pada dasarnya merancang infrastruktur hukum untuk
berinvestasi. Tentunya produk hukum yang sangat menguntungkan mereka. Saya
tidak pernah mendengar situasi seperti itu sebelumnya, di mana modal global
duduk dengan wakil dari negara yang diasumsikan sebagai negara berdaulat dan
merancang persyaratan buat masuknya investasi mereka ke dalam negaranya
sendiri."Freeport mendapatkan gunung tembaga di Papua Barat (Henry
Kissinger, pengusaha Yahudi AS, duduk dalam Dewan Komisaris). Sebuah konsorsium
Eropa mendapatkan Nikel di Papua Barat. Sang raksasa Alcoa mendapatkan bagian
terbesar dari bauksit Indonesia. Sekelompok perusahaan Amerika, Jepang, dan
Perancis mendapatkan hutan-hutan tropis di Kalimantan, Sumatera, dan Papua
Barat. Dia juga menolak bantuan keuangan dari AS berupa pinnjaman uang. Sukarno
menilai bahwa hubungan antara dunia pertama dengan dunia ketiga adalah yakni
antara Oldefos dan Nevos antara Old establish forces dengan New Emerging Forces
adalah bentuk dari neokapitalisme. Contoh dari neokapitalis berdasarkan
pandangan ini adalah Italia dan Inggris. Pemikiran ini berkembang hingga tahun
1965.
Sebenarnya
bangsa Indonesia adalah bangsa yang haus dengan keadilan, beberapa tahun lalu
dengan penuh kesadaran mereka menolak penyerangan Amerika pada Irak,
Afganistan, pemberian bantuan pada Rezim Zionis Israel dll, mereka menilai
Amerika dan konco-konconya adalah Negara berpolitik muka dua dibidang HAM.
Amerika hanya melakukan sesuatu selama hal itu bisa memberikan keuntungan
padanya.
2.2 Hubungan Amerika dalam Pembebasan Irian Barat
2.2.1 Awal Mula Keterlibatan
Tahun
1962, Indonesia tengah bersitegang dengan Belanda soal Irian Barat. Indonesia
mengklaim wilayah itu merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sementara Belanda berpendapat lain, dan tetap menduduki Irian Barat, yang kini
dikenal sebagai Propinsi Papua. Dan tampaknya, perselisihan itu akan
diselesaikan lewat jalur perang. Maka Presiden Soekarno, memerintahkan
mempersiapkan Operasi Trikora, nama untuk operasi militer dalam rangka
pembebasan Irian Barat. Segala sarana tempur dan kekuatan militer mulai digeser
ke kawasan Timur, dengan basisnya di Makassar. Meski sempat terjadi
bentrokan-bentrokan kecil antara kedua kekuatan militer yang sedang berhadapan
itu –termasuk gugurnya Komodor Laut Yos Soedarso di Laut Aru—tapi perang
besarnya sendiri tak pernah terjadi. Konflik itu selesai lewat jalur
diplomatik, ketika PBB menekan Belanda untuk menyerahkan Irian Barat ke
pangkuan Indonesia.
Melunaknya
sikap Belanda, yang notabene masih merasa superior kepada bekas negeri
jajahannya, bukan tanpa sebab. Ketika kedua negara bersitegang, pesawat
pengintai milik angkatan udara Amerika Lockheed-U2s yang berpangkalan di
Taiwan, beberapa kali wara-wiri di atas angkasa Indonesia. Apalagi tujuannya
kalau bukan mengintip kekuatan militer Indonesia, yang ketika itu sedang
berbulan muda dengan Uni Soviet. Hasil pengintaian itu membuat cemas Amerika,
yang segera mengabarkan sekutunya itu. Mereka menyarankan Belanda agar “kabur”
saja dari Irian Barat, ketimbang babak belur dihajar angkatan perang Indonesia.
Itu juga yang mendorong PBB ikut menekan Belanda untuk menyerahkan Irian Barat.
Belanda yang “tahu diri” segera angkat kaki dari Bumi Cendrawasih pada 1963.
Maklum jika
Belanda jiper. Berkat kedekatan dengan Uni Soviet, Indonesia menjadi negara
yang memiliki kekuatan udara paling kuat di Asia. Negeri Komunis itu bermurah
hati dengan mengirimkan pesawat-pesawat perang paling modern pada era itu. Di
antaranya adalah pembom TU-16, yang mampu menggendong misil udara ke darat AS-1
Kennel, yang punya jangkauan jauh serta daya hancur yang dahsyat. Di antara
jejeran jet tempur, ada MIG 21 yang punya nickname versi NATO Fishbed. Inilah
jet tempur jenis pencegat yang paling modern di dunia pada saat itu. Sementara
Belanda, masih mengandalkan pesawat sisa perang dunia kedua semacam P51
Mustang, serta jet-jet tempur semacam Vampire, Hawker Hunter, yang jauh kalah
kelas dengan Fishbed. Makanya, Belanda memilih amit mundur ketimbang hancur
lebur. Walaupun itu menyebabkan skadron Fishbed milik AURI tak sempat unjuk
digdaya di langit Irian.
2.2.2 Intervensi Amerika Serikat dalam Pembebasan Irian Barat
Indikasi
dari adanya keterlibatan dan intervensi Amerika Serikat di Irian Barat itu
sendiri memiliki permasalahan yang cukup signifikan. Hal ini diawali dari
adanya kepentingan serta kebijakan luar negeri Amerika Serikat itu sendiri di
berbagai negara di Asia, temasuk Indonesia. Kemudian dengan adanya kemampuan
dari Amerika Serikat dalam hal militer dan juga perekonomian itu sendiri
memberikan kekuasaan terhadap negara-negara yang dianggapnya dapat diperoleh kerjasama
baik secara bilateral maupun multilateral. Berbagai hubungan Amerika
Serikat-Indonesia yang pada mulanya dilakukan oleh Amerika Serikat berawal dari
adanya insiden antara awak kapal perang Potomac dengan penduduk Kuala Batu di
Aceh. Kemudian berlanjut menjadi adanya indikasi keterlibatan Amerika Serikat
dalam operasi Trikora yang menurut Amerika Serikat itu sendiri adalah upaya
pribadi Soekarno yang merusak tatanan perdamaian dan kesejahteraan dunia yang
kemudian dibentuknya opini dunia oleh Amerika Serikat itu sendiri.
Kesinambungan
kebijakan luar negeri Amerika Serikat dengan masalah-masalah keamanan yang
dilakukannya tersebut memiliki ciri yang bertentangan. Ciri khas politik
Amerika Serikat itu sendiri memiliki kolaborasi yang seimbang antara memeilihara,
melindungi, dan memperluas kepentingan Amerika Serikat itu sendiri di seluruh
dunia, termasuk Indonesia. Tetapi peran politik yang paling penting dan
realistik dalam kancahnya di Irian Barat adalah politik intervensionis.Di mana
pada masa pasca Perang Dunia II, permasalahan Irian Barat itu sendiri
diintervensi oleh Amerika Serikat melalui pemerintahan kepresidenan Harry S.
Truman, Dwight D. Eisenhower, John Fitzgerald Kennedy dan sebagainya yang
terpengaruh oleh kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang terpengaruh dari
pemimpin-pemimpinnya tersebut.
Dalam
suatu pemerintahan liberal maupun kebijakan luar negeri yang dijalankan Amerika
Serikat, terdapat peran kaum neokonservatif yang melakukan rekayasa sosial.
Rekayasa sosial terbentuk dari sebuah gerakan dengan visi tertentu yang
bertujuan untuk mempengaruhi perubahan sosial, tetapi dalam konteks social
engineering (rekayasa sosial) yang dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat,
adalah dengan melakukan penyebaran demokrasi terhadap negara-negara yang masih
diktator.[4] Dalam hal ini Soekarno dianggap sebagai seorang diktator yang
menghalangi kepentingan Amerika Serikat di Indonesia khususnya Irian Barat pada
masa pasca Perang Dingin tersebut.
Keterlibatan
Amerika Serikat itu sendiri tidak terlepas dari adanya peran Soekarno sebagai
presiden pertama Republik Indonesia yang baru merdeka pada tahun 1945.
Pengaruh-pengaruh Blok Timur di Indonesia mulai dikesampingkan oleh presiden
Amerika Serikat pada saat itu yaitu Harry S. Truman di mana konflik kependudukan
dan geografi Irian Barat itu sendiri berakar dari adanya kepentingan Amerika
Serikat untuk tetap menjadikan Indonesia sebagai bagian dari negara-negara
penganut Blok Barat, tetapi dengan adanya peran Soekarno yang bersikap tegas
dan tidak mudah untuk diatur, Amerika Serikat menggunakan kesempatan tersebut
di mana pada saat itu Indonesia sedang melakukan perjuangan mempertahankan
kemerdekaan terhadap Belanda untuk membantu Belanda mengklaim Irian Barat
sebagai daerah yang diklaim Belanda dalam jajahannya agara Indonesia tetap
condong ke Blok Barat di bawah pengaruh Belanda.
Bentuk
lain dari Doktrin Truman yang berlaku di Eropa juga diaplikasikan dalam
penolakan bantuan militer terhadap Indonesia dalam melakukan perlawanan
terhadap Belanda. Hal ini dikarenakan sikap Soekarno yang juga mendukung
komunisme dalam masa Perang Dingin sehingga adanya indikasi bahwa tidak
percayanya Amerika Serikat terhadap Indonesia untuk terus berada di Blok Barat.
Sedangkan mempertahankan Irian Barat dianggap sebagai suatu sikap atau bentuk
perlawanan terhadap imperialisme yang berkepanjangan antara negara-negara Blok
Barat tersebut. Kembali ke pemikiran-pemikiran neokonservatif yang dimiliki
oleh institusi-institusi Amerika Serikat itu sendiri, perlu diketahui bahwa
demokrasi yang menjadi objek penyebaran pemerintah Amerika Serikat, dipercaya
menjadi jawaban bagi keinginan masyarakat untuk kehidupan yang lebih baik, dan
demokrasi dipercaya oleh kaum neokonservatif sebagai hak-hak dasar manusia
walaupun kaum neokonservatif sendiri mengabaikan nilai-nilai fungsi sipil yang
kritis. Demokrasi juga disalahpahami sebagai suatu sistem yang menguntungkan
sebuah negara karena dibebaskannya negara tersebut dari kediktatoran.[5] Hal
yang ingin ditekankan adalah kasus Irian Barat dalam pandangan Truman merupakan
suatu bentuk kesempatan ataupun eksperimen untuk mempersatukan serta mengayomi
pihak militer Indonesia untuk melepaskan diri dari pihak Indonesia.
Berlanjut
pada masa pemerintahan Dwight D. Eisenhower di mana adanya keterlibatan seorang
agen CIA bernama Allen Pope yang dianggap memiliki peran penting dalam proses
intervensi pemerintahan AS di Indonesia dan membuka peluang penting dalam
menyibak kabut keterlibatan AS di Irian Barat. Pada tahun 1950 juga bentuk
politik Amerika Serikat terhadap Indonesia memiliki beberapa faktor yang
relevan dengan adanya permasalah baik di internal maupun eksternal Indonesia
dan Amerika Serikat itu sendiri. Seperti tindakan-tindakan sensitive yang
dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat karena adanya gerakan-gerakan yang
menjurus kea rah komunisme Blok Timur, lalu pada waktu itu pemerintah Indonesia
memperoleh dukungan yang luas dari rakyat beserta instrument-instrumen
kenegaraannya yang luas sehingga adanya kecenderungan munculnya pengaruh yang
memecah belah, lalu metode politik Indonesia yang tidak sesuai dengan demokrasi
Amerika Serikat itu sendiri juga menjadi permasalahan lain dalam kebijakan luar
negeri Amerika Serikat di Indonesia sendiri, kemudian adanya ketidaksenangan
pihak Amerika Serikat karena akan adanya gerakan politik yang memperjuangkan
Irian Barat (yang pada saat itu masih dijajah Belanda). Sehingga bantuan luar
negeri yang Amerika Serikat berikan, tersangkut oleh adanya faktor-faktor
tersebut.
Lalu
kemudian cara persuasif yang lebih halus dan tanpa penekanan dilakukan oleh
John F. Kennedy dalam masa pemerintahannya terhadap Soekarno. Adanya
pengeluaran biaya dalam pembelian alat-alat militer dan bantuan secara militer
ditawarkan oleh Kennedy untuk aksi-aksi pembebasan Irian Barat dan berbagai
permasalahan lainnya di Indonesia terhadap Soekarno. Hal ini memberikan jalan
lain setelah terkuaknya kasus dugaan percobaan pembunuhan Soekarno, 3 Juni 1965
Setelah adanya pembebasan Allen Pope itu sendiri yang dimuat di New York Times,
23 Agustus 1962.“Indonesia Bebaskan Penerbang Amerika Orang yang dihukum seumur
hidup dikembalikan ke Amerika Serikat secara rahasia Oleh Robert F. Whitney
Khusus untuk New York Times
WASHINGTON,
22 Agustus – Allen Lawrence Pope, penerbang Amerika Serikat yang menjalani
hukuman seumur hidup dalam penjara di Indonesia, dibebaskan pada tanggal 2 Juli
dan selama beberapa minggu sudah berada di Amerika Serikat….Menurut Reap, pilot
itu dibebaskan sebagai bagian dari amnesti umum dan Amerika Serikat tidak
memberikan konsesi untuk memperoleh pembebasannya….” Hal ini memberikan adanya
perubahan pandangan pembebasan warga negara Amerika Serikat yang sebelumnya
mendapatkan sanksi hukuman seumur hidup menjadi bebas tanpa syarat dan
dikembalikan ke negaranya. Keterlibatan Amerika Serikat dalam berbagai
perjuangan politik Indonesia pun terkuat melalui penangkapan Allen Pope sebagai
agen CIA yang menyamar tersebut. Dalam Operasi Trikora yang disebut juga
sebagai upaya yang dilancarkan Indonesia untuk menggabungkan wilayah Irian
Barat. Hal ini terjadi terkait dengan nasionalisme yang ditekankan pada masa
pemerintahan Soekarno sehingga pada tanggal 19 Desember 1961, Soekarno
(Presiden Indonesia) mengumumkan pelaksanaan Trikora di Alun-alun Utara
Yogyakarta.[9] Pembentukan berbagai komando dan penyelenggaraan operasi-operasi
militer juga diberlakukan Soekarno dalam penanggulangan permasalahan di Irian
Barat tersebut.
Kepentingan
awal yang mengakar pada masa Perang Dingin tersebut adalah adanya penyebaran
demokrasi, Dari kasus-kasus yang sudah terjadi, kesuksesan penyebaran demokrasi
memiliki tiga kerakteristik yang bisa dijadikan sebagai pembanding, yaitu:
1. Adanya
inisiatif yang datang dari masyarakat yang bersangkutan.
2. Bentuk
dukungan eksternal hanya bekerja di rezim semi-otoriter yang memerlukan tahap
pemilihan serta adanya kebebasan bagi kelompok masyarakat sipil untuk
berorganisasi.
3. Daya
penerimaan kekuatan pro-demokrasi dari negara luar, sangat bergantung kepada
sejarah spesifik masyarakat dan jenis dari nasionalisme penduduk setempat yang
ada.[
Peran
Amerika Serikat dalam penyebaran demokrasi yang terjadi melalui dan melewati
konflik yang terjadi di Irian Barat tersebut berkelanjutan dengan adanya desakan-desakan
Amerika Serikat terhadap Belanda untuk terus melakukan perundingan-perundingan
dengan pihak Indonesia. Sehingga untuk menghindari konfrontasi yang lebih
lanjut, diadakanlah perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah
Belanda di New York, yang dikenal dengan nama Perjanjian New York. Dalam hal
inilah peran aktif dan langsung yang dimiliki oleh Amerika Serikat terhadap
permasalahan Irian Barat terlihat jelas.
Keterlibatan
maupun intervensi Amerika Serikat dalam permasalahan Irian Barat tersebut tidak
terlepas dari adanya peran Soekarno sebagai presiden yang memimpin pada masa
perjuangan Irian Barat tersebut. Kemudian keterlibatan-keterlibatan Amerika
Serikat terlihat jelas melalui adanya peran-peran CIA dan organisasi lainnya
dalam proses intervensi politik Indonesia oleh Amerika Serikat sendiri termasuk
permasalahan Irian Barat, serta berujung kepada permohonan pembebasan Allan
Pope untuk kembali ke Amerika Serikat. Ketakutan Amerika Serikat terlihat di
dalam cara penanganan-penanganan permasalahan Irian Barat yang memerlukan
rekayasa-rekayasa sosial dalam hal militer dan juga ekonomi, walaupun mendapat
perlawanan dari Soekarno itu sendiri. Permasalahan Irian Barat pun dianggap
sebagai suatu kesempatan untuk memecah Indonesia untuk kembali di bawah jajahan
Belanda sebagai bagian dari Blok Barat di masa Perang Dingin tersebut, di mana
kebijakan presiden Amerika Serikat juga berperan di dalamnya pada masa itu.
2.3 Peran CIA Dibalik Sejarah dan Pemberontakan di Indonesia
Diskursus
tentang CIA dan peranannya dalam perjalanan sejarah bangsa ini kembali
mengemuka ketika buku Tim Werner berjudul “Legacy of Ashes” diterbitkan dalam
bahasa Indonesia dan menyinggung tentang direkrutnya Adam Malik menjadi agen
CIA. Polemik pun merebak. Ada yang percaya, ada yang tidak. Dan seperti juga
kasus lainnya di negeri ini, kontroversi itu pun segera menguap, berakhir tanpa
ending yang jelas. Fakta inilah yang membuat banyak orang luar menyebut bangsa
ini memiliki memori yang amat pendek.
Kemenangan
kaum komunis dalam Revolusi Merah Oktober 1917 telah mencemaskan AS. Sejak itu
pula, AS merancang satu strategi untuk menghancurkan Rusia. “Tanggal 8 Januari
1918, Presiden AS Woodrow Wilson mengumumkan Program 14 Pasal. Dalam suatu
komentar rahasia mengenai program ini, Wilson mengakui jika usaha menghancurkan
dan mencerai-beraikan Soviet Uni sudah direncanakan. ” (Vsyemirnaya Istoria
1961, VIII:82). Dan kita tahu, baru pada tahun 1992 Soviet hancur. Presiden AS
Woodrow Wilson Rencana Wilson saat itu tidak bekerja dengan efektif disebabkan
fokus kerja intelijen yang kurang, depresi besar 1930, dan Perang Dunia I dan
II. Barulah usai Perang Dunia II AS sungguh-sungguh menyadari betapa Soviet
harus dihadapi dengan serius.
Truman
Doctrine untuk mengepung penyebaran komunisme dikeluarkan pada 1947. Disusul
dengan Marshall Plan tahun berikutnya guna membangun kembali Eropa dari
puing-puing akibat PD II. Indonesia (istilah dulu “Hindia Belanda”) merupakan
satu-satunya wilayah koloni Eropa yang dicakup dalam rencana dasar Marshall
Plan. Akibatnya, bantuan keuangan AS kepada Belanda menyebabkan Den Hag mampu
untuk memperkuat genggamannya atas Indonesia. Belanda melancarkan embargo
ekonomi terhadap pemerintah RI yang berpusat di Yogya kala itu.
2.3.1 Kelahiran NATO
Guna membendung pengaruh komunisme
Soviet di Eropa maka AS mendirikan North Atlantic Treaty Organization (NATO)
pada 4 April 1949. Tanggal 1 Oktober 1949 RRC komunis di bawah Mao Tse Tung
berdiri. Perang Korea (1950) memaksa tentara AS yang di bawah panji PBB
berhadapan langsung melawan tentara RRC yang membantu Korea Utara. Hal ini
menjadikan AS merasa perlu untuk mendirikan Southeast Asia Treaty Organization
(SEATO). Kian jelas, NATO dimaksudkan sebaga politik pembendungan terhadap Uni
Soviet, sedangkan SEATO ditujukan sebagai politik pembendungan terhadap RRC
(Soebadio; Hubungan Indonesia Amerika Dasawarsa ke II Tahun 1955-1965; 2005).
Di penghujung 1950, RRC dan Uni Soviet menjalin hubungan yang erat. Ini kian
mencemaskan AS yang bernafsu menciptakan dunia sebagai pasar bebas yang besar
bagi dirinya, dan juga penguasaan atas wilayah-wilayah yang kaya akan sumber
daya alam seperti Indonesia. Sebab itu, Menlu AS Dean Acheson di penghujung
1950 merumuskan kebijakan politik luar negeri AS untuk Asia Pasific. AS
menjalin perjanjian dengan sejumlah negara di wilayah tersebut.
Pada 8 September 1951, As mendirikan
pangkalan militer di Okinawa-Jepang, Pangkalan Clark dan; Subic di Philipina
berdiri pada 30 Agustus 1951, ANZUS (Australia, New Zealand, and United States)
berdiri pada 1 September 1951, Korea Selatan pada 1 Oktober 1953, dan Taiwan
pada 2 Desember 1954 (Brown; American Security Policy in Asia; Adelphi Papers
132; 1977) Semua perkembangan global di atas telah dipelajari dengan seksama
oleh Soekarno yang sejak muda gandrung pada persatuan Indonesia yang merdeka,
berdaulat secara politik dan ekonomi, dan mandiri. Soekarno tahu jika negerinya
ini menyimpan kekayaan alam yang luar biasa. Sebab itu dia sungguh-sungguh
paham jika suatu hari Indonesia akan mampu untuk tumbuh menjadi sebuah negeri
yang besar dan makmur. Sikap Soekarno inilah yang membuatnya menentang segala
bentuk Neo Kolonialisme dan Imperialisme (Nekolim) di mana AS menjadi
panglimanya.
2.3.2 Ketidak Percayaan Terhadap Amerika
Dalam pandangan Soekarno, Soviet lebih bisa dipercaya ketimbang AS karena Soviet belum pernah menjadi negara kolonial di luar negeri, sebaliknya Inggris dan Perancis adalah bekas negara-negara kolonial yang bersekutu dengan AS (Soebadio: p.42). Sebab itu, Indonesia menentang usaha AS menjadikan negara-negara Asia Pasifik sebagai bonekanya (dengan mendirikan pangkalan militer di wilayahnya masing-masing) dan menjalin kerjasama dengan Soviet dalam kedudukan yang setara. Apalagi Soekarno tahu jika AS membantu Belanda untuk menjajah kembali Indonesia. Hal ini menjadikan AS bernafsu untuk menumbangkan segera Soekarno.
7 Desember 1957, Panglima Operasi AL-AS
Laksamana Arleigh Burke memerintahkan Panglima Armada ke-7 (Pacific) Laksamana
Felix Stump menggerakkan kekuatan AL-AS yang berbasis di Teluk Subic untuk
merapat ke Indonesia dengan kecepatan penuh. Atas sikap keras kepala Soekarno
yang tidak mau tunduk pada keinginan AS guna membentuk Pax-Pacific untuk
melawan kekuatan komunisme, dan di sisi lain juga berarti menentang tunduk pada
sistem kapitalisme yang merupakan induk dari kolonialisme dan imperialisme di
mana AS menjadi panglimanya, maka tidak ada jalan lain bagi Amerika untuk
menundukkan Soekarno kecuali menyingkirkannya.
2.2.3 Soemitro Djojohadikusumo dan Soedjatmoko
Sejak akhir 1940-an, AS sesungguhnya
sudah mengamati gerak-gerik dua tokoh PSI bernama Soemitro Djojohadikusumo dan
Soedjatmoko yang berasal dari kalangan elit. AS mengetahui jika keduanya
menentang sikap Soekarno. Baik Soedjatmoko maupun Sumitro diketahui menyambut
baik Marshall Plan. Bahkan Soedjatmoko berkata, “Strategi Marshall Plan untuk
Eropa tergantung pada dapat dipergunakannya sumber-sumber alam Asia.” Koko,
demikian panggilan Soedjatmoko, bahkan menawarkan suatu model Indonesia yang
terbuka untuk bersekutu dengan Barat. Awal 1949, Sumitro di School of Advanced
International Studies yang dibiayai Ford Foundation menerangkan jika pihaknya
memiliki model sosialisme yang membolehkan dieksploitasinya kekayaan alam
Indonesia oleh Barat ditambah dengan sejumlah insentif bagi modal asing (Suroso;
Bung Karno, Korban Perang Dingin; 2008.p.301. Lihat juga Weisman dan
Djojohadikoesoemo 1949: 9).
David Ransom dalam “Mafia Berkeley dan
Pembunuhan Massal di Indonesia: Kuda Troya Baru dari Universitas-Universitas di
AS Masuk ke Indonesia” (Ramparts; 1971) menulis:“Di New York, keduanya
dibesarkan oleh satu kelompok yang berhubungan erat dengan apa yang biasa
disebut Vietnam Lobby, yang menempatkan Ngo Dinh Diem sebagai Kepala Negara
Vietnam yang pro AS. Lobi tersebut, di antaranya ada Norman Thomas, terdiri
dari anggota-anggota Komite Kemerdekaan untuk Vietnam dan juga Liga India.
Mereka merupakan pelopor Sosialis Kanan (Soska) dunia. “Kita harus berusaha
agar usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan AS untuk membentuk pemerintah
non-komunis di Asia paska PD II jangan sampai ketahuan ketidakwajarannya”, ujar
Robert Delson, anggota Liga yang juga Lawyer di Park Avenue. Delson adalah
penasehat hukum untuk Indonesia di AS.” Orang ini, tulis Ransom, selalu
menemani dan membawa Sumitro dan Koko keliling AS dan memperkenalkannya kepada
sahabat-sahabatnya di Americans for Democratic Action (ADA) yang juga Soska dan
berpengaruh dalam sikap polittik luar negeri AS.
Konferensi Meja BundarUsai KMB 1949,
Sumitro pulang ke Jakarta dan diangkat sebagai Menteri Perdagangan dan
Industri, dan kemudian juga sebagai Menteri Keuangan dan Dekan Fakultas ekonomi
Universitas Indonesia. Sikap Sumitro dan kawan-kawan PSI-nya yang mendukung
investasi Belanda di Indonesia merdeka tidak populer di mata rakyat yang
nasionalismenya tengah bergelora. Akhirnya pada Pemilu 1955, PSI hanya mendapat
suara yang kecil.
2.2.4 Nasionalisasi Aset - Aset Belanda di Indonesia
Pada
1957, untuk memperkuat perekonomian nasional, Bung Karno mengambil langkah
berani dengan menasionalisasi aset-aset milik Belanda. Rakyat mendukung penuh
langkah ini. Namun Soemitro dan rekan-rekannya dengan berani menentang Bung
Karno dan malah bergabung dengan para pemberontak PRRI/PERMESTA yang didukung
penuh CIA. Edisi Koleksi Angkasa berjudul “Dirty War, Mesiu di Balik Skandal
Politik dan Obat Bius” (juga buku David Wise & Thomas B. Ross: Pemerintah
‘Bayangan’ Amerika Serikat: 2007) memaparkan keterlibatan CIA dalam peristiwa
ini: Dalam waktu bersamaan, November 1957, terjadi percobaan pembunuhan
terhadap Bung Karno yang dikenal dengan peristiwa Cikini. Bung Karno selamat
namun 9 orang tewas dan 45 orang disekelilingnya luka. Pemerintah kala itu mendeteksi
jika tindakan makar tersebut didalangi oleh komplotan ektrem kanan yang
dimotori Letkol Zulkifli Loebis, pendiri Badan Rahasia Negara Indonesia
(BraNI), cikal bakal BIN, dan didukung CIA. Dengan tegas Bung Karno mengatakan
jika CIA berada di belakang usaha-usaha pembunuhan terhadap dirinya.
Tudingan
Bung Karno terbukti. Dalam satu sesi pertemuan Komite Intelijen Senat AS yang
diketuai Senator Frank Church dengan Richard Bissel Jr—mantan wakil Direktur
CIA bidang perencanaan operasi—22 tahun kemudian terungkap jika saat itu nama
Soekarno memang sudah masuk dalam target operasi Direktur CIA, Allan Dulles.
2.2.5 Dukungan Besar CIA Pada Pemberontakan PRRI/PERMESTA
Dalam operasi mendukung PRRI/PERMESTA,
AS menurunkan kekuatan yang tidak main-main. CIA menjadikan Singapura, Filipina
(Pangkalan AS Subic & Clark), Taiwan, dan Korea Selatan sebagai pos suplai
dan pelatihan bagi pemberontak. Dari Singapura, pejabat Konsulat AS yang
berkedudukan di Medan, dengan intensif berkoordinasi dengan Kol. Simbolon,
Sumitro, dan Letkol Ventje Soemoeal. Dalam artikel berjudul “PRRI-PERMESTA,
Pemberontakan Para Kolonel” yang ditulis Santoso Purwoadi (Angkasa: Dirty War)
dipaparkan jika pada malam hari, 7 Desember 1957, Panglima Operasi AL-AS
Laksamana Arleigh Burke memerintahkan Panglima Armada ke-7 (Pacific) Laksamana
Felix Stump menggerakkan kekuatan AL-AS yang berbasis di Teluk Subic untuk
merapat ke Indonesia dengan kecepatan penuh tanpa boleh berhenti di mana pun.
Satu divisi pasukan elit AS, US-Marine, di bawah pengawalan sejumlah kapal
penjelajah dan kapal perusak disertakan dalam misi tersebut. Dalih AS, pasukan
itu untuk mengamankan instalasi perusahaan minyak AS, Caltex, di Pekanbaru,
Riau. Kepada para pemberontak, selain memberikan ribuan pucuk senjata api dan
mesin, lengkap dengan amunisi dan aneka granat, CIA juga mendrop sejumlah alat
perang berat seperti meriam artileri, truk-truk pengangkut pasukan, aneka jeep,
pesawat tempur dan pembom, dan sebagainya. Bahkan sejumlah pesawat tempur
AU-Filipina dan AU-Taiwan seperti pesawat F-51D Mustang, pengebom B-26 Invader,
AT-11 Kansan, pesawat transport Beechcraft, pesawat amfibi PBY 5 Catalina
dipinjamkan CIA kepada pemberontak. Sebab itulah, pemberontak bisa memiliki
angkatan udaranya sendiri yang dinamakan AUREV (AU Revolusioner). Beberapa
pilot pesawat tempur tersebut bahkan dikendalikan sendiri oleh personil militer
AS, Korea Selatan, Taiwan, dan juga Filipina.
Pesan rahasia CIA kepada para pimpinan
PPRI agar sebelum mundur dari Riau mereka meledakkan instalasi kilang minyak
Caltex dulu, agar dua batalyon US Marine yang sudah menunggu di perairan Dumai
bisa mendarat dan menghantam pasukan Yani, dan setelah itu berencana merangsek
ke Jakarta guna menumbangkan Soekarno, sama sekali tidak sempat dilakukan para
pemberontak
2.2.6 Agen Amerika Tertangkap Basah
Awalnya pemerintah AS membantah
keterlibatannya dalam pemberontakan PRRI/PERMESTA. Namun sungguh ironis, tidak
sampai tiga pekan setelah Presiden Eisenhower menyatakan hal itu, pada 18 Mei
1958, sebuah pesawat pengebom B-29 milik AS ditembak jatuh oleh sistem
penangkis serangan udara Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI), setelah
pesawat itu membombardir sebuah pasar dan landasan udara Ambon. Sebuah kapal
laut milik ALRI juga menjadi korban (Soebadio: Hubungan Indonesia Amerika Dasawarsa
ke II Tahun 1955-1965; 2005; h. 73). “Sejumlah rakyat sipil, yang sedang berada
di gereja pada acara Kamis Putih, terbunuh dalam serangan di komunitas Kristen
tersebut,” tulis David Wise & Thomas B. Ross dalam “The Invisible
Government: Pemerintah Bayangan Amerika Serikat” (2007; h. 180). Pilot tempur
pesawat tersebut, Allan Lawrence Pope berhasil ditangkap hidup-hidup.
Awalnya, AS lewat Dubes Howard P. Jones
berkilah jika Pope merupakan warganegara AS yang terlibat sebagai tentara
bayaran, namun pemerintah RI mendapatkan banyak bukti jika Pope merupakan agen
CIA yang sengaja ditugaskan membantu pemberontakan guna menggulingkan Bung
Karno.“Pope bukanlah seorang tentara bayaran. Dia terbang atas perintah CIA,
yang secara diam-diam mendukung para pemberontak yang mencoba menggulingkan
Soekarno… Dalam konferensi pers di Jakarta, 27 Mei, yang digelar oleh Letkol
Herman Pieters, Pemimpin Komando Militer Maluku dan Irian Barat di Ambon,
menyatakan… 300 sampai 400 tentara AS, Filipin a, dan nasionalis Cina membantu
pemberontakan itu.” (Wise & Rose; h.180).
Atas gertakan AS yang sampai mengerahkan
kekuatan dua batayon US Marine dengan Armada ke-7nya ke perairan Riau, Bung
Karno sama sekali tidak gentar dan balik mengancam AS agar jangan ikut campur
terlalu jauh ke dalam masalah internal NKRI. “AS jangan sampai bermain api
dengan Indonesia. Jangan biarkan kekurangpahaman Amerika menyebabkan meletusnya
Perang Dunia Ketiga!”Bung Karno segera mengirim satu pasukan besar di bawah
pimpinan Ahmad Yani untuk melibas para pemberontak di Sumatera. Saat itu RRC
telah menyiapkan skuadron udaranya serta ribuan tentara regulernya untuk
bergerak ke Indonesia guna membantu Soekarno memadamkan pemberontakan yang
didukung CIA tersebut, namun Bung Karno menolaknya. “Kekuatan angkatan perang
kami masih mampu menghadapi para pemberontak itu,” ujarnya. Dan hal itu
terbukti, hanya dalam hitungan jam setelah pasukan Ahmad Yani mendarat di
Pekanbaru, Padang, serta Bukit Tinggi—pusat konsentrasi para pemberontak—maka
kota-kota penting itu pun direbut tanpa perlawanan yang berarti.
Bahkan pesan rahasia CIA kepada para
pimpinan pemberontak agar sebelum mundur dari Riau mereka meledakkan instalasi
kilang minyak Caltex dulu, agar dua batalyon US Marine yang sudah menunggu di
perairan Dumai bisa mendarat dan menghantam pasukan Yani, dan setelah itu
berencana merangsek ke Jakarta guna menumbangkan Soekarno, sama sekali tidak
sempat dilakukan para pemberontak. (Edisi Koleksi Angkasa: Dirty War; h.48).
Juni 1958, pemberontakan ini berhasil ditumpas. Sumitro Djojohadikusumo dan
sejumlah tokoh yang terlibat pemberontakan melarikan diri ke Singapura dan dari
‘Basis Israel di Asia Tenggara’ itulah, kelompok ini terus menggerogoti
kekuasaan Bung Karno dan berusaha agar Indonesia bisa tunduk pada kepentingan
kolonialisme dan imperialisme baru (Nekolim) AS.
2.2.7 Operasi Dua Muka AS
Walau awalnya AS membantah
keterlibatannya, namun setelah tidak akif lagi di Indonesia, mantan Dubes AS
Howard P. Jones mengakui jika dirinya tahu jika CIA ada di belakang pemberontakan
itu. Hal ini ditegaskan Jones dalam memoarnya “Indonesia: The Possible Dream”
(1990; h.145). Upaya CIA menumbangkan Bung Karno selalu menemui kegagalan. Dari
membuat film porno “Bung Karno”, sampai dengan upaya pembunuhan dengan berbagai
cara. Hal ini menjadikan CIA harus bekerja ekstra keras. Apalagi Bung Karno
secara cerdik akhirnya membeli senjata dan peralatan militer ke negara-negara
Blok Timur dalam jumlah besar, setelah AS menolak memberikan peralatan
militernya. AS tentu tidak ingin Indonesia lebih jauh bersahabat dengan Blok
Timur. Sebab itu, setelah gagal mendukung PRRI/PERMESTA, sikap AS jadi lebih
lunak terhadap Indonesia. 19 Agustus 1958, AS akhirnya mengeluarkan pengumuman
resmi jika pihaknya bersedia menjual senjatanya kepada Indonesia. “Dalam waktu
enam bulan, kurang lebih 21 batalyon Indonesia telah diperlengkapi dengan
senjata-senjata ringan Amerika,” (Jones; h. 154)
Namun walau di permukaan AS tampak kian
melunak, sesungguhnya AS tengah melancarkan ‘operasi dua muka’ terhadap
Indonesia. Di permukaan AS ingin terlihat memperbaharui hubungannya dengan Bung
Karno, namun diam-diam CIA masih bergerak untuk menumbangkan Bung Karno dan
menyiapkan satu pemerintah baru untuk Indonesia yang mau tunduk pada
kepentingan Amerika. Ini termuat dalam dokumentasi laporan Hugh S. Cumming,
Kepala Kementerian Pertahanan dan CIA, kepada National Security Council (NSC)
pada 3 September 1958. (Suroso; Bung Karno Korban Perang Dingin; 2008; h. 331).
Senjata-senjata AS banyak yang dikirim kepada Angkatan Darat, dibanding
angkatan lainnya dengan pertimbangan dari analisa agen-agen CIA bahwa elemen
ini lebih bisa diajak bekerjasama dengan AS ketimbang elemen lainnya.
Di sisi lain, CIA juga menggarap satu
proyek membangun kelompok elit birokrat baru yang pro-AS yang kini dikenal
sebagai ‘Berkeley Mafia’. Sumitro dan Soedjatmoko merupakan tokoh penting dalam
kelompok ini. Bahkan di awal tahun 1960-an, tokoh-tokoh Mafia Berkeley ini bisa
mengajar di Seskoad dan menjalin komunikasi intens dengan sekelompok perwira Angkatan
Darat yang memusuhi Panglima Tertinggi/Presiden Soekarno, yang diantaranya
adalah Suharto yang kelak berkuasa setelah Bung Karno ditumbangkan di tahun
1965. (untuk hal ini lebih lanjut silakan baca artikel David Ransom: “Mafia
Berkeley dan Pembunuhan Massal di Indonesia, Kuda Troya Baru dari
Universitas-Universitas di Amerika Serikat Masuk ke Indonesia”; Ramparts;
1971).
2.2.8 Tumbangnya Sukarno, Kabar Gembira Buat Washington
Tumbangnya Soekarno dan naiknya Jenderal
Suharto disambut gembira Washingon. Presiden AS Richard M. Nixon sendiri
menyebut hal itu sebagai “Terbukanya upeti besar dari Asia”.Untuk membangun
satu kelompok militer—terutama Angkatan Darat—di Indonesia yang ‘baru’ (baca:
pro Amerika), AS menyelenggarakan pendidikan militer untuk para perwira
Indonesia ini di Fort Leavenworth, Fort Bragg, dan sebagainya. Pada masa antara
1958-1965 jumlah perwira Indonesia yang mendapat pendidikan ini meningkat
menjadi 4.000 orang. (Suroso; 2008; h. 373). Selain militer, AS juga membangun
satu kelompok elit birokrat di Universitas-Universitas AS seperti di Berkeley,
MIT, Harvard, dan sebagainya, yang dikenal sebagai Mafia Berkeley. Kedua elemen
ini binaan AS ini (kelompok perwira AD yang dipimpin Suharto dan kelompok
birokrat yang tergabung dalam ‘Mafia Berkeley’ pimpinan Sumitro) kelak berkuasa
di Indonesia setelah Soekarno ditumbangkan. Inilah cikal bakal Orde Baru (The
New Order). Amerika Serikat sendiri juga dikenal sebagai pemimpin Orde Dunia
Baru (The New World Order).
Sejak kegagalan mendukung PRRI/PERMESTA,
National Security Council (NSC) lewat CIA terus memantau perkembangan situasi
Indonesia secara intens. Sejumlah lembaga-lembaga sipil dan militer AS juga
sangat aktif menggodok orang-orang Indonesia yang dipersiapkan duduk di kursi
kekuasaan paska Soekarno. Sebuah memorandum CIA yang dipersiapkan untuk State
Department yang dikeluarkan di Washington, 18 September 1964 berjudul Prospek
Untuk Aksi Rahasia berisi 18 point, dalam point ke-16 antara lain
berbunyi:…Seberapa jauh kita dapat melakukan usaha memecah PKI dan lebih
penting lagi, untuk mengadu PKI melawan elemen non-komunis, khususnya dengan
Angkatan Darat? Sampai sejauh mana, bila dimungkinkan, kita harus menyerang
Soekarno? Apakah tidak dapat terpikirkan untuk menggerakkan tekanan internal seperti
membangkitkan kerusuhan Cina tahun lalu, dan di bawah syarat-syarat tertentu
mungkin akan memaksa Angkatan Darat untuk meraih kekuasaan besar guna
memulihkan keamanan dan ketertiban? Kita tidak ingin nampak terlalu ambisius
dalam hal ini. Tapi jika kita membangun program yang didalamnya terdapat bentuk
[kurang dari 1 baris teks sumber tidak dideklasifikasikan] sebagai supplement
di dalam perkembangan politik jangka panjang. Penting sekali mengetahui kemana
kita akan berjalan dan mampu menuntut kemungkinan segala konsekuensinya dari
segala usaha kita. Saat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini adalah
sekarang, tidak ada nanti…” (Dokumen CIA: Melacak Penggulingan Soekarno dan
Konspirasi G30S 1965; 2007).
Demikianlah. Sudah banyak literatur dan
dokumen yang membongkar keterlibatan CIA di dalam peristiwa Oktober 1965, yang
pada akhirnya menjatuhkan Soekarno dan menaikkan Jenderal Suharto. Atas nama
pembersihan kaum komunis di negeri ini, CIA turut menyumbang daftar nama
kematian (The Dead List) yang berisi 5.000 nama tokoh dan kader PKI di
Indonesia kepada Jenderal Suharto. Orang yang dijadikan penghubung antara CIA
dan Suharto dalam hal ini adalah Adam Malik (lihat tulisan Kathy Kadane,
seorang lawyer dan jurnalis State News Service, berjudul “Para Mantan Agen
Berkata: CIA Menyusun Daftar Kematian di Indonesia”; Herald Journal, 19 Mei
1990. Artikel yang sama dimuat di San Fransisco Examiner, 20 Mei 1990; di
Washington Post, 21 Mei 1990; dan di Boston Globe, 23 Mei 1990). CIA memang
memberi daftar kematian sejumlah 5.000 orang, namun fakta di lapangan jauh di
atas angka itu. Kol. Sarwo Edhie, Komandan RPKAD saat itu yang memimpin operasi
pembersihan ini, terutama di Jawa Tengah dan Timur, menyebut angka tiga juta
orang yang berhasil dihabisi. Bukan tokoh PKI saja yang dibunuh, namun juga
orang-orang kecil yang tidak tahu apa-apa yang menjadi korban politik kotor
konspiratif antara CIA dengan para ‘local army friend’.
2.2.9 Terbukanya Upeti Besar dari Asia
Tumbangnya Soekarno dan naiknya Jenderal
Suharto disambut gembira Washingon. Presiden AS Richard M. Nixon sendiri
menyebut hal itu sebagai “Terbukanya upeti besar dari Asia”. Indonesia memang
laksana peti harta karun yang berisi segala kekayaan alam yang luar biasa. Jika
oleh Soekarno kunci peti harta karun ini dijaga baik-baik bahkan dilindungi
dengan segenap kekuatan yang ada, maka oleh Jenderal Suharto, kunci peti harta
karun ini malah digadaikan dengan harga murah kepada Amerika Serikat. “Salah
satu hal yang paling prinsipil dari pergantian kepemimpinan di Indonesia, dari
Soekarno ke Suharto adalah bergantinya karakter Indonesia dari sebuah bangsa
yang berusaha menerapkan kemandirian berdasarkan kedaulatan dan kemerdekaan,
menjadi sebuah bangsa yang bergantung pada kekuatan imperialisme dan
kolonialisme Barat,” demikian Suar Suroso (Bung Karno, Korban Perang Dingin;
2008).
Prosesi digadaikannya seluruh kekayaan
alam negeri ini kepada jaringan imperialisme dan kolonialisme Barat terjadi di
Swiss, November 1967. Jenderal Suharto mengirim sat tim ekonomi dipimpin Sultan
Hamengkubuwono IX dan Adam Malik. Tim ini kelak disebut sebagai Mafia Berkeley,
menemui para CEO korporasi multinasional yang dipimpin Rockefeller. Dalam
pertemuan inilah tanah Indonesia yang kaya raya dengan bahan tambang
dikapling-kapling seenaknya oleh mereka dan dibagikan kepada
korporasi-korporasi asing, Freeport antara lain mendapat gunung emas di Irian
Barat, demikian pula yang lainnya. Bahkan landasan legal formal untuk
mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia pun dirancang di Swiss ini yang kemudian
dikenal sebagai UU Penanaman Modal Asing tahun 1967 (John Pilger; The NewRulers
of the World). Dan jangan lupa, semua COE korporasi asing tersebut dikuasai
oleh jaringan Yahudi Internasional.
Dalam fase awal kekuasaannya, Jenderal
Suharto didampingi oleh dua tokoh Orde Baru, sama-sama Amerikanis, yakni Adam
Malik dan Sultan Hamengkubuwono IX. Mereka ini dikenal sebagai Triumvirat Orde
Baru. Dalam tulisan berikutnya akan disorot jejak CIA di dalam masa kekuasaan
Jenderal Suharto, di mana bukan hanya CIA yang diajak masuk ke Indonesia namun
juga nantinya MOSSAD, sebagaimana telah ditulis dengan jelas di dalam Memoirnya
Jenderal Soemitro, mantan Pangkopkamtib.
Pada Juli 1966, seorang pejabat CIA,
bernama Clarence “Ed” Barbier mendarat di Jakarta. Jabatan resminya adalah
Asisten Khusus Duta Besar AS. David Ransom, di dalam artikel “Mafia Berkeley
dan Pembunuhan Massal di Indonesia, Kuda Troya Baru dari
Universitas-Universitas di Amerika Serikat Masuk ke Indonesia” (Ramparts;
1971), dengan jujur memaparkan bagaimana AS lewat CIA membangun satu kelompok
elit baru guna memimpin satu Indonesia yang tunduk pada kepentingan kekuatan
Neo-Imperialisme dan Neo-Kolonialisme Barat. Bahkan sesungguhnya, Amerikalah
yang merancang dan menyusun strategi pembangunan nasional negeri ini yang
dikenal dengan istilah Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita) lewat satu
tim asistensi CIA dan sejumlah think-tank AS yang bekerja di belakang para
teknokrat dan birokrat rezim Orde Baru
Para pejabat pendiri Orde Baru seperti
Adam Malik, Sumitro, Soedjatmoko, dan sebagainya memang dikenal amat dekat
dengan para pejabat AS, baik yang bekerja di Jakarta maupun Washington. Lewat
CIA, AS telah memanfaatkan para pejabat Indonesia anti Soekarno ini untuk
memuluskan kepentingannya. Bahkan Tim Werner dalam “Legacy of Ashes: A History
of CIA” (2007) menulis jika Adam Malik telah direkrut menjadi agen CIA lewat
pengakuan seorang mantan agen CIA bernama McAvoy. Walau yang terakhir ini
sempat jadi polemik, namun kedekatan Adam Malik—dan kawan-kawan-dengan para
pejabat AS saat itu adalah suatu fakta sejarah.
Pada Juli 1966, seorang pejabat CIA,
bernama Clarence “Ed” Barbier mendarat di Jakarta. Jabatan resminya adalah
Asisten Khusus Duta Besar AS. “Eufismisme diplomatik ini biasanya dikhususkan
bagi Kepala Stasiun CIA yang secara terbuka menyatakan hal ini kepada negara
penerima… Dua kepala stasiun sebelumnya tidak diberitahukan secara resmi kepada
pemerintah Soekarno dan hanya terdaftar sebagai ‘Sekretaris Pertama/Politik’,
suatu jabatan untuk menyamarkan kepala perwakilan ini di antara para diplomat
resminya,” tulis Ken Conboy dalam “Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen
Indonesia” (2007; h. 47-48).
Barbier yang fasih Bahasa Jepang dan
bekerja pada intelijen AL-AS pada Perang Dunia II sebelumnya bertugas di
Pacific. Dari lembaga intel AL-AS, Barbier dipindahkan ke CIA di awal
berdirinya dan bertugas mengawasi jalur komunikasi dinas intelijen Vietnam
Selatan.
Salah satu operasi rahasia CIA di
Indonesia di awal era Orde Baru adalah operasi HABRINK, yang berbasis di
Konsulat AS di Surabaya. Saat itu, rezim Suharto ‘menerima’ warisan
perlengkapan dan persenjataan perang dari negara-negara Blok Timur seperti
Chekoslovakia dan Soviet. Kebetulan, AS tengah berperang di medan tempur
Indocina dan menghadapi pihak lawan yang menggunakan peralatan perang seperti
yang ada di Indonesia. “Operasi rahasia yang digelar pada 1967 ini bertujuan
untuk mendapatkan detil teknis dan juga contoh barang perlengkapan militer
Soviet seperti Rudal SA-2, kapal selam kelas Whiskey, kapal perang jenis Riga,
dan pesawat pembom Tu-16. Operasi ini dibuka kepada umum ketika salah seorang
pejabat CIA yang terlibat dalam operasi ini, David Henry Bennet, dihukum pada
1980 karena diketahui telah menjual detil operasi ini kepada pihak Soviet. Hal
ini berasal dari catatan Bakin Personnel File atau BPF dengan title ‘David
Henry Barnett’”, tulis Conboy dalam bukunya (h.57). Clarence Barbier, demikian
tulis Conboy, bekerja dengan mulus di Indonesia disebabkan kesamaan agenda
antara AS dengan rezim Suharto, yakni memerangi komunisme. Dalam tugasnya,
Barbier merekrut sejumlah orang Indonesia, baik militer maupun sipil. Lewat
hubungan yang amat baik dengan Kolonel CPM Nicklany Soedardjo, seorang perwira
didikan AS (lulusan Fort Gordon, 1961), Barbier berhasil merekrut seorang tokoh
Perti (Partai Tarbiyah Indonesia) bernama Suhaimi Munaf, yang oleh Suharto
dianggap dekat dengan orang-orang komunis. Suhaimi sendiri pernah ditangkap
pada Februari 1967 dengan tuduhan telah melakukan kejahatan politik.
Pada sekitar Agustus 1968, menjelang
kebebasan Suhaimi Munaf, Barbier meminta kepada Kol. CPM Nicklany agar
melakukan serangkaian tes psikologi terhadap Suhaimi. Hasil tes menunjukkan
Suhaimi memiliki mental baja, keras kepala, dan tidak mudah dipengaruhi. Hasil
yang sesuai dengan keinginan CIA. Singkat cerita, Munaf berhasil direkrut CIA
dan dikirim ke Pulau Buru dengan menyandang nama sandi Friendly/1. Di pulau
tempat pembuangan dan penahanan orang-orang komunis ini, Suhaimi mendapat tugas
untuk menjalin hubungan lagi dengan kolega kirinya baik yang berada di dalam
maupun luar negeri.“Dengan memanfaatkan simpati atas penahanannya, ia
mencari-cari pekerjaan di di kedutaan negara asing komunis… CIA telah menuai
sukses awal dengan Friendly/1,” demikian Conboy.
Kerjasama Kol. Nicklany dengan Barbier
tidak berhenti di sini saja. Pada awal 1968, Nicklany yang menjabat sebagai
Asisten Intelijen Kopkamtib kepada orang-orang terdekatnya menyatakan ingin
membentuk satuan tugas kontra intelijen asing, guna menangkap mata-mata asing
yang beroperasi di Indonesia. “Mata-mata aing” di sini tentu saja memiliki arti
sebagai mata-mata Blok Timur. Karena dengan CIA dan sekutunya, Nicklany malah
bekerjasama. Satuan tugas ini akhirnya terbentuk dengan anggota inti sebanyak
enampuluh orang, sepuluh perwira aktif dan sisanya sipil, dan menyandang nama
resmi “Satuan Khusus Pelaksana Intelijen” atau Satsus-Pintel, yang kemudian
diringkas menjadi “Satuan Khusus Intelijen” atau Satsus-Intel. Satuan ini
mendapatkan dana dari CIA lewat Barbier termasuk gaji personelnya, lalu bantuan
kendaraan untuk kegiatan pengamatan (surveilance), biaya sewa rumah-aman (safe
house) di Jalan Jatinegara Timur-Jakarta, dan tape recorder mutakhir merk Sony
TC-800 serta perangkat penyadap telepon canggih QTC-11. Hingga awal 1970,
Satsus-Intel mendapat 16 sepeda motor, 3 sedan Mercedes, 2 Toyota Corolla, 3
Volkswagen, 1 Toyota Jeep, dan 1 Minibus Datsun dengan kaca belakang yang
dilapisi penutup agar minibus ini digunakan untuk melakukan pemotretan rahasia.
Semuanya dari CIA. (Conboy; h.57).Jendral Sumitro Pangkopkamtib Jenderal
Soemitro dengan terus terang menyatakan jika pihaknya memang menjalin kerjasama
yang erat dengan MOSSAD Israel, CIA, dan juga MI-6 Inggris dalam hal penumpasan
komunis. “Dalam hal ini, Pak Sutopo Yuwono, Pak Kharis Suhud, dan Nicklany.
Tiga orang ini yang saya izinkan.” (Soemitro, Dari Pangdam Mulawarman Sampai
Pangkopkamtib; 1994; h. 251).
3.1 Kesimpulan
Awalnya pemerintah AS membantah
keterlibatannya dalam pemberontakan PRRI/PERMESTA. Namun sungguh ironis, tidak
sampai tiga pekan setelah Presiden Eisenhower menyatakan hal itu, pada 18 Mei
1958, sebuah pesawat pengebom B-29 milik AS ditembak jatuh oleh sistem
penangkis serangan udara Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI), setelah
pesawat itu membombardir sebuah pasar dan landasan udara Ambon. Sebuah kapal
laut milik ALRI juga menjadi korban (Soebadio: Hubungan Indonesia Amerika
Dasawarsa ke II Tahun 1955-1965; 2005; h. 73).
Tumbangnya Soekarno dan naiknya Jenderal
Suharto disambut gembira Washingon. Presiden AS Richard M. Nixon sendiri
menyebut hal itu sebagai “Terbukanya upeti besar dari Asia”. Indonesia memang
laksana peti harta karun yang berisi segala kekayaan alam yang luar biasa. Jika
oleh Soekarno kunci peti harta karun ini dijaga baik-baik bahkan dilindungi
dengan segenap kekuatan yang ada, maka oleh Jenderal Suharto, kunci peti harta
karun ini malah digadaikan dengan harga murah kepada Amerika Serikat. “Salah
satu hal yang paling prinsipil dari pergantian kepemimpinan di Indonesia, dari
Soekarno ke Suharto adalah bergantinya karakter Indonesia dari sebuah bangsa
yang berusaha menerapkan kemandirian berdasarkan kedaulatan dan kemerdekaan,
menjadi sebuah bangsa yang bergantung pada kekuatan imperialisme dan
kolonialisme Barat,” demikian Suar Suroso (Bung Karno, Korban Perang Dingin;
2008).
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2012. 2.2.1 Intervensi
Amerika Serikat dalam Pembebasan Irian Barat
Wikipedia. 2014. Aktivitas CIA di Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar