SEJARAH
AMERIKA
“ Perkembangan Amerika Latin Setelah Perang Dunia II”
Disusun untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Amerika
Dosen Pengampu Dr.
Suranto, M.Pd.
Tugas Individu
Oleh:
MAGDALENA
YULI P.
120210302096
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN
SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Allah YME sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Sejarah Amerika “Perkembangan Amerika
Setelah Perang Dunia II” yang merupakan salah satu dari komponen nilai tugas
individu mata kuliah Sejarah Amerika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara pada Jurusan Pendidikan Sejarah
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas jember.
Penyusunan makalah ini tidak lepas
dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena
itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1.
Dr. Suranto M.Pd., selaku
Dosen pengampu mata kuliah Sejarah Amerika yang telah membimbing;
2.
Teman-teman yang telah
memberi dorongan dan semangat;
3.
Semua pihak yang tidak
dapat disebutkan satu per satu.
Penulis juga menerima segala kritik
dan saran dari semua pihak demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya penulis berharap, semoga makalah ini
dapat bermanfaat.
Jember, Mei 2014
Penulis
DAFTAR ISI
2.2.1 Fidel Castro Aliansi Kebangkitan Sosialisme Amerika Latin .................9
2.2.2 EVO MORALES dan Gerakan Menuju Sosialisme ..............................11
3.1 Kesimpulan
............................................................................................25
1.1 Latar Belakang
Amerika Latin adalah wilayah yang banyak didatangi oleh para
penjajah karena memiliki banyak sumber daya alam, oleh karena itu sejarah
perpolitikannya banyak diwarnai oleh negara-negara di luarnya. Pada abad ke-16
Spanyol dan Portugis menguasai wilayah Amerika Latin dengan kekerasan dan
penaklukan yang sejalan dengan politik merkantilis pada masa itu (Hennida,
2012:47). Pada abad 17 hingga 18 wilayah di Amerika Latin menjadi perebutan
penjajah Eropa, hingga mengakibatkan Amerika Latin bergantung pada ekonomi
kapitalis global pasca kemerdekaan. Selain Eropa, Amerika Serikat juga cukup
berpengaruh dalam situasi di Amerika Latin, salah satunya lewat Doktrin Monroe
1823 yang menyatakan bahwa wilayah benua Amerika yang merdeka telah bebas dan
tidak lagi dianggap sebagai subjek kolonialisasi Eropa, sehingga AS akan turun
tangan apabila negara-negara Eropa masih berusaha menjajah dan menaklukan
wilayah di benua Amerika yang telah merdeka (Hennida, 2012:50).
Semenjak
mendaratnya penjajah baik dari Portugis maupun Spanyol, rakyat Amerika Latin
merasa dirugikan. Karena penjajah hanya ingin menguasai sumber daya alam di
sana untuk nantinya dikirim ke Negara induk dalam menunjang perekonomiannya.
Hak azasi manusia saat itu tidaka lagi diperdulikan.hal inilah yang nantinya
memunculkan semangat perjuangan untuk mendapat kemerdekaan. Pada umumnya
penyebab munculnya perjuangan kemerdekaan ini ada dua macam faktor, yakni
faktor intern dan faktor ekstern.
Amerika
Selatan adalah kawasan yang terletak di Benua Amerika sebelah selatan dan
tersambung dengan Amerika Utara melalui Tanah Genting Panama. Wilayah kawasan
Amerika Selatan dapat diidentifikasi berdasarkan klasifikasi konflik atau
permasalahan tertentu berdasarkan beberapa dasar, yakni konflik etnis, ideology
politik, ekonomi perdagangan, keamanan, dan hubungan luar negeri.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana
Perkembangan Amerika latin pasca perang dunia II?
2. Bagaimana
Perjuagan Kemerdekaan Amerika Latin?
3. Apa
saja Permasalahan yang di Hadapi Amerika Latin?
1.3 Tujuan
1. Untuk
mengetahui Perkembangan Amerika latin pasca perang dunia II
2. Untuk
mengetahui Perjuagan Kemerdekaan Amerika Latin
3. Untuk
mengetahui Permasalahan yang di Hadapi Amerika Latin
2.1 Perkembangan Amerika Latin Pasca Perang Dunia II
Pada
awal abad 19, AS mulai memperkuat pengaruhnya dan mengokupasi beberapa wilayah
di Amerika Latin, didukung oleh dominasi AS pada masa Perang Dunia I. Kemudian
antara tahun 1919 dan 1923 berdirilah kelompok komunis pertama di Amerika
Latin, hal ini disebabkan oleh Komunis Internasional yang mulai menyebarkan
pengaruhnya terutama pada wilayah-wilayah yang menunjukkan sedikit minat pada
imperialisme (Bao & Ortega, 2008:9). Masuknya pengaruh komunis ini telah
melahirkan Liga Antiimperialista de las Americas atau LADLA pada tahun 1925.
Pada tahun 1930an fasisme mulai menyebar sehingga demokrasi di Amerika Latin
mulai pudar, hal ini mendorong terjadinya gerakan otoritarian (Hennida,
2012:52). Namun hal ini tidak bertahan lama, pasca Perang Dunia II, AS yang
muncul sebagai pemenangnya kembali berhasil merebut pengaruhnya di Amerika
Latin. Akibatnya komunisme di Amerika Latin mulai memudar akibat adanya
Containment Policy yang dikobarkan AS, hal ini dibuktikan dengan terbentuknya
sistem Pan American pada 1947, Organization of American States pada 1948, dan
pembentukan kerjasama militer dengan berbagai negara di Amerika Latin (Hennida,
2012:52). Pada abad ke-20 muncul substansi dan pengaruh besar dari tradisi
geopolitik di Amerika Latin. Pada tahun 1960an mulai diberlakukan kekuasaan militer
dalam waktu yang lama, seperti di Brasil dari tahun 1964 hingga akhir 1980-an,
di Argentina setelah 1966 dan lagi 1976-1982, dan di Chili 1973-1990 (Hepple,
2004:360). Ideologi geopolitik memiliki dampak yang cukup besar selama
kekuasaan ini dijalankan dan individu geopolitikan menjadi tokoh utama dalam
pemerintahan.
Sejarah
politik dan hubungan internasional Amerika Latin telah membentuk popularitas
geopolitik wilayah tersebut. Munculnya negara merdeka dari Spanyol dan Portugis
meninggalkan permasalahan batas dan klaim yang seringkali terjadi di beberapa
wilayah (Hepple, 2004:360). Hepple (2004) memperjelas pernyataan do atas dengan
teori Mackinder dalam The geographical pivot of history yang memiliki relevansi
dengan geopolitik Amerika bagian selatan ini. Mackinder berasumsi bahwa Amerika
Selatan adalah bagian dari lingkup AS di bawah Doktrin Monroe, oleh karena itu
bisa saja Jerman pada Perang Dunia I dan II lebih mengutamakan untuk menguasai
wilayah ini daripada menguasai wilayah heartland ataupun pivot (Hepple,
2004:361). Namun pada kenyataannya Amerika Selatan tidak pernah berperan lebih
aktif dalam dunia geopolitik. Muncullah Tambs dengan “new heartland theory”
yang menyatakan bahwa teori Mackinder memang memiliki relevansi langsung pada
Amerika Latin dan konsep daerah heartland serta pivot dapat diterapkan di sana.
Ia juga mengatakan bahwa Amerika Latin memiliki dua zona strategis, yaitu
cekungan Karibia dan segitiga Bolivia (Hepple, 2004:361). Hal ini disebabkan
oleh adanya pegunungan Andes dan sungai Amazon yang dapat mengisolasi negara di
dalamnya dari kompetisi negara luar.
Geopolitik
Amerika Latin lebih mengutamakan pada antar benua, oleh karena itu mereka fokus
pada perbatasan dan persaingan antar negara. Muncul pula perspektif baru dan peristiwa
internasional yang menghubungkan Amerika Latin dengan wilayah jantungnya
sehingga menyeret wilayah-wilayah tersebut ke permainan geopolitik global (Hepple, 2004:363). Namun pada kenyataannya
skema geopolitik yang ada memang melebih-lebihkan kondisi agar suatu negara
melakukan sebuah tindakan, hal ini didorong untuk mencapai kepentingan politik
namun tidak menjalankan cara politik yang efektif.
Dinamika
politik negara-negara Amerika Latin mengalami perkembangan yang unik menurut
Morgenstern & Nacif (2003), walaupun tujuan dan prioritas mereka tidak
berubah. Perkembangan tersebut mengalami beberapa tahapan, yaitu pendalaman
demokrasi, pluralitas dalam bentuk organisasi dan civil society, serta adanya
peranan gereja yang pada abad 19 sempat mengalami penentangan (Morgenstern
& Nacif, 2003). Selain itu yang tak
boleh dilupakan adalah globalisasi yang telah mendorong perubahan dalam
pembuatan kebijakan baik yang berkaitan dengan domestik maupun luar negeri dalam
ranah politik maupun ideologi.
Dapat
disimpulkan bahwa perkembangan politik di Amerika Latin lebih banyak
dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan luar seperti Spanyol, Portugis dan Amerika
Serikat, serta oleh munculnya teori-teori geopolitik seperti Mackinder dengan
“Heartland Theory”. Teori geopolitik telah menyebabkan negara-negara Amerika
Latin melakukan tindakan politik yang disesuaikan dengan kondisi geografis
wilayahnya. Menurut penulis, tidak hanya kekuatan luar yang sebenarnya
mempengaruhi dinamika politik di Amerika Latin. Hal ini juga didorong oleh
gagalnya partai politik tradisional untuk memenuhi keinginan masyarakat.
Dibuktikan oleh munculnya partai sayap kiri di Brazil yang berasal dari gerakan
petani dan penduduk asli untuk menghadapi gagalnya partai Partido dos
Trabalhadores yang muncul mewakili rakyat buruh untuk memenuhi janji kampanye
pemilunya (Morgenstern & Nacif, 2003).
2.2 Perjuangan Kemerdekaan Amerika Latin
Semenjak
mendaratnya penjajah baik dari Portugis maupun Spanyol, rakyat Amerika Latin
merasa dirugikan. Karena penjajah hanya ingin menguasai sumber daya alam di
sana untuk nantinya dikirim ke Negara induk dalam menunjang perekonomiannya.
Hak azasi manusia saat itu tidaka lagi diperdulikan.hal inilah yang nantinya
memunculkan semangat perjuangan untuk mendapat kemerdekaan. Pada umumnya
penyebab munculnya perjuangan kemerdekaan ini ada dua macam faktor, yakni
faktor intern dan faktor ekstern.
1. Faktor
Intern
Faktor
intern artinya faktor yang berasal dari dalam kolonialisme sendiri. Pada saat
masa penjajahan berlaku sistem kolonialisme yang cukup menyiksa rakyat. Rakyat
pribumi diperlakukan tidak adil, yang terbukti dari pemerasan secara paksa yang
digunakan untuk kepentingan sistem merkantilisme ekomomi. Setiap rakyat dipaksa
untuk berja keras agar penjajah dengan mudah mendapatkan apa yang diinginkan
tanpa perlu bersusah payah ikut bekerja. Hak azasi manusia sudah tidak
diindahkan, justru diinjak – injak bahkan dianggap tidak ada hak untuk rakyat
jajahan. Menuntut pembayaran pajak yang cukup tinggi terhadap rakyat. Rayat
tidak diperkenankan untuk menikmati bangku pendidikan. Selain itu juga Spanyol
masih tetap menjalankan politik diskriminasi. Diskriminasi tersebut dilakukan
dengan tidak memberi kursi di pemerintahan bagi rakyat pribumi. Kemudian juga
terjadi percampuran kepentingan antara kepentingan Negara yang diwakili oleh
para pejabat administrasi kolonial, gereja, yang diwakili oleh para pendeta
katolik, dan tentara yang terdiri dari para petualang fisik. Pemerintah
melakukan persekongkolan dengan pendeta dan tentara tidak hanya dalam
berperang, akan tetapi juga dalam perdamaian. Tujuannya adalah membagi rata
hasil yang diperoleh terutama tentang kepemilikan tanah.
2. Faktor
Ekstern
Faktor
ekstern merupakan penyebab – penyebab yang berasal dari luar sistem
kolonialisme itu sendiri. Cara berfikir dan perjuangan rakyat Amerika Latin
kala itu dipengaruhi oleh komunikasi rakyat dengan dunia luar baik secara
langsung maupun tidak langsung. Komunikasi inilah yang menginspirasi rakyat
pribumi untuk menemukan gagasan baru dan cara – cara memeperjuangkan
kemerdekaan. Kemudian faktor lainnya adalah pendidikan, tak banyak rakyat yang
dapat mengenyam pendidikan di luar negeri. namun mereka yang berkesempatan akan
memepelajari cara - cara yang cukup baik untuk perjuangan kemerdekaan. Kemudian
peristiwa – peristiwa penting di dunia kala itu juga menjadi salah satu
pendorong bagi rakyat untuk memperjuangkan kemerdekaannya. Contoh saja
peristiwa Revolusi Prancis yang mendorong rakyat pribumi untuk merebut kembali
kemerdekaan dari tangan Spanyol dan Portugis. Revolusi ini merupakan lambang
perjuangan rakyat melawan kezaliman raja, dan sebagai motor penggerak revolusi
– revolusi Amerika Latin. Selanjutnya kesadaran politik semakin tergugah Kemudian serangan Napoleon atas Spanyol dan
Portugal memeberikan kesempatan yang baik bagi Amerika Latin untuk melepaskan
diri dari Negara induk.
Pada
dasarnya sebelum tahun 1807 – 1808, rakyat daerah jajahan sudah mulai melakukan
serangan – serangan secara individual dengan persenjataan dan biaya yang cukup
serta tanpa ada organisasi. Akan tetapi usahanya kali menghadapi jalan buntu.
Para pemimpin serangan ditahan atau dihukum mati. Dalam tahun 1749, Juan
Fransisco de Leon yang merupakan orang kreol melakukan pemberontak terhadap
tekanan ekonomi namun gagal. Begitu pula dengan pemberontakan di Chili pada
tahun 1776. Di Peru pada tahun 1780-1783 terjadi pemberontakan yang dilakukan
oleh orang Indian yang dibantu orang Kreol dan mestizo dibawah pimpinan Tupac
Amaru II yang juga berujung kegagalan.
Brasil
memiliki strategi/taktik tertentu dalam melakukan aksi penolakan terhadap
penjajah yaitu dengan politis dan terpendam dengan cara diskusi yang berada di
bawah pimpinan Joaquim Jose da Silva Xavier. Namun, usahanya gagal sebab
pemerintah telah mengetahui maksud Joaquim yang ingin menuntut hak azasi
manusia. Tahun 1792 dia dihukum mati, maka gugurlah pahlawan kemerdekaan
pertama Brasil.
2.2.1 Fidel Castro Aliansi Kebangkitan Sosialisme Amerika Latin
Fidel
Alejandro Castro Ruz adalah Presiden Kuba saat ini. Sebelumnya, ia menjabat
sebagai Perdana Menteri atas penunjukannya pada Februari 1959 setelah tampil
sebagai komandan revolusi yang gagal Presiden Dewan Negara merangkap jabatan
sebagai Dewan Menteri Fulgencio Batista pada tahun 1976. Castro tampil sebagai
sekretaris pertama Partai Komunis Kuba (Communist Party of Cuba) pada tahun
1965 dan mentransformasikan Kuba ke dalam republik sosialis satu-partai dan
selain tampil sebagai presiden, ia juga tampil sebagai komandan Militer Kuba
inilah yang memicu ketidaknyamanan AS .
Di
luar Kuba, Castro mulai menggalang kekuatan untuk melawan dominasi Amerika
Serikat dan bekas negara Uni Soviet. Setelah runtuhnya Uni Soviet pada tahun
1991, cita-cita dan impiannya mulai diwujudkan dengan bertemu Hugo Chávez di
Venezuela dan Evo Morales dari Bolivia. Persahabatan mereka sangat dekat
seperti apa yang dilakukan oleh Chavez yang langsung menyerang kebijakan
sanksi-sanksi Washington atas Kuba yang diumumkan AS. Washington menegaskan,
akan mengurangi tingkat sirkulasi dolar untuk menguras uang cash Kuba. Sanksi
itu juga termasuk meningkatkan dukungan bagi kalangan oposisi Kuba yang secara
garis politik berseberangan dengan Fidel Castro, menurut Castro ini adalah
bentuk terorisme negara
Presiden
Kuba Fidel Castro juga memimpin puluhan ribu warganya melancarkan protes
terhadap kebijakan baru Amerika hendak memperketat embargo dagang dan
perjalanan ke negeri pulau itu. Peraturan Amerika membatasi perjalanan ke Kuba
tidak mengenal kasihan dan tidak berprikemanusiaan. Sesuai peraturan, warga
Amerika asal Kuba hanya dibolehkan mengunjungi Kuba sekali dalam tiga tahun,
tidak tiap tahun. Peraturan juga mengurangi pengiriman uang yang boleh
dilakukan warga Amerika asal Kuba kepada keluarga atau famili mereka di Kuba.
Tujuan peraturan ini ialah selain ingin sanksi ekonomi Amerika tadi diharapkan
melemahkan sistem sosialis Kuba, juga ditujukan untuk memungkiri Kuba
memperoleh dolar Amerika dan pada gilirannya mempercepat berakhirnya
pemerintahan Castro.Aliansi kebangkitan Sosialisme Amerika Latin sebenarnya
tidak lepas dari perlawanan berpuluh-puluh tahun Fidel Castro terhadap Amerika
Serikat, dan hal ini dipicu lagi dengan percobaan kudeta terhadap Hugo Chavez
di Venezuela tahun 2002 oleh AS yang dicurigai melibatkan campur tangan CIA.
Hal
lain yang meningkatkan perjuangan aliansi ini adalah resep ekonomi liberal yang
dipelopori oleh AS liberal dengan segala kepentingannya yang diterapkan oleh
lembaga moneter internasional di ekonomi negara ini dan Amerika Latin ternyata
memperburuk kondisi ekonomi negara-negara Amerika Latin, Hampir di seluruh
Amerika Latin kemiskinan makin melilit, hal ini karena resep ekonomi liberal
gagal menciptakan kesejahteraan, yang dirasakan adalah eksploitasi dan hutang
yang semakin menumpuk. Puncak perlawanan ekonomi poros Amerika Latin adalah
ditolaknya rencana zona perdagangan bebas pada KTT negara-negara benua Amerika.
Dan dimulailah pernyataan Anti Amerika di seluruh Amerika Latin yang dipimpin
oleh Castro dan teman-teman.
2.2.2 EVO MORALES dan Gerakan Menuju Sosialisme
Juan
Evo Morales Ayma, ketika ia melihat bahwa perjuangan sosial di kalangan
petani-petani coca ini perlu ditingkatkan menjadi gerakan politik, maka partai
yang bernama MAS yang dipimpin Evo Morales menjadi kekuatan politik yang
terbesar dan terkuat di Bolivia, yang menggiringnya menjadi Preseden Bolivia
melalui kampanyenya yang terang-terangan mengutuk kejahatan-kejahatan
perusahaan-perusahaan multinasional, mengkritik praktek-praktek neoliberalisme
dan globalisasi yang dilakukan oleh IMF, Bank Dunia, dan WTO. Evo Morales juga
banyak bicara tentang pentingnya negara Bolivia sebagai pengontrol pengelolaan
gas bumi, yang merupakan cadangan besar sekali di benua Amerika Latin dan
menurutnya, Bolivia dapat mengelolanya sendiri sehingga tidak kembali diperas
oleh pihak luar seperti yang pernah dialami Bolivia dimana sejarah penjajahan
Spanyol di Bolivia menunjukkan bahwa penjarahan besar-besaran kekayaan bumi
Bolivia yang berupa timah hanya untuk kekayaan kapitalis-kapitalis Spanyol,
sedangkan orang-orang dari suku Indian, yang merupakan majoritas penduduk,
tidak mendapat apa-apa atau sedikit sekali. Inilah yang membuat Morales tidak
menyukai kapitalisme.
Terpilihnya
Evo Morales sebagai presiden Bolivia membawa tantangan baru bagi kebijakan
pemerintahan George W Bush di Amerika Latin. Popularitas Amerika di kawasan ini
terus merosot, sementara ideologi kiri makin kuat. Amerika Serikat berusaha
menjatuhkan citra Evo Morales sejak dia tampil ke permukaan. Morales menyebut
Gerakan Menuju Sosialisme pimpinannya sebagai ''mimpi buruk'' bagi Washington.
Namun, Morales juga mengisyaratkan bahwa dia dapat pula menempuh kebijakan
pragmatis. Analis berpendapat, Amerika Serikat tidak perlu terlalu jauh masuk
ke dalam konfrontasi. Kemenangan pemilu Morales makin menambah barisan kekuatan
kiri di Amerika Latin. Orang-orang Amerika Latin sudah tidak percaya dengan
kebijakan ekonomi pasar bebas karena tidak berdampak meningkatkan kesejahteraan
rakyat miskin
Pada
masa reformasi ekonomi di tahun 1990-an, Morales ikut menyumbangkan
keberhasilan perekonomian Bolivia yang kian meningkat dalam produksi dan
penyelundupan narkoba internasional. Hal yang memicu ketersendatan dan
ketidaklancaran adalah ketika pemerintahan Presiden Hugo Banzer mengupayakan
penghapusan narkoba yang didukung Amerika Serikat pada pertengahan 1990-an.
Mulai saat itu muncul berbagai ketegangan disertai banyak bentrokan dan protes.
Kritik keras terhadap Amerika Serikat adalah Masalah kokain yang terus
dipertentangkan oleh AS di Bolivia, menurut Morales harus dipecahkan pada sisi
konsumsinya, bukan dengan mengatur tanaman koka, yang sudah legal di
daerah-daerah tertentu di Bolivia. Ideologi Morales tentang narkoba dapat
diringkas menjadi "daun koka bukanlah narkoba". Kenyataannya,
mengunyah daun koka telah menjadi tradisi bagi masyarakat setempat (Aymara dan
Quechua) dan pengaruh obatnya tidak sekuat kafein yang terdapat di dalam kopi,
namun bagi banyak rakyat Bolivia yang miskin ini dianggap sebagai satu-satunya
cara untuk bekerja terus sepanjang hari. Praktek mengunyah daun koka oleh
penduduk pribumi di Bolivia sudah berlangsung lebih dari 1000 tahun dan tidak
pernah menimbulkan masalah narkoba di masyarakat mereka. Itulah sebabnya
Morales percaya bahwa masalah kokain harus diselesaikan pada sisi konsumsinya,
bukan dengan membasmi perkebunan koka[
Pemerintahan
Morales sangat berbeda pendapat dengan Amerika Serikat dalam masalah
undang-undang anti narkoba dan kerja sama antara kedua negara itu, namun mereka
telah mengungkapkan keinginan untuk bekerja sama dalam membasmi perdagangan
narkoba. Sean McCormack dari Departemen Luar Negeri AS memperkuat dukungan
terhadap kebijakan anti narkoba Bolivia, sementara Morales menyatakan akan
menerapkan kebijakan nol kokain, nol perdagangan narkoba, namun bukannya nol
koka. Dalam pertemuan di Havana, Chavez mendapatkan dua kali kesempatan
menyampaikan pidatonya secara spontan Inti pidatonya, Chavez menyerukan bahwa
KTT GNB di Kuba ini harus menjadi awal berubahnya peta kekuatan dunia. Caranya,
para ilmuwan, ekonom, dan pakar di segala bidang harus bersatu membuat langkah
mengatasi berbagai ketinggalan yang dialami negara-negara miskin.
Kesimpulan
Presiden Venezuela Hugo Chavez adalah kekuatan pendorong di balik perubahan
sikap Amerika Latin. Pada tahun 1998 Chavez terpilih sebagai presiden dan
langsung jelas bahwa ia tidak begitu suka politik Amerika Serikat. Sejak saat
itu Chavez mendorong lebih banyak kerjasama antara negara-negara kawasan, untuk
mencegah campur tangan Amerika Serikat. Kuba dan Bolivia langsung memanfaatkan
syarat menguntungkan untuk bisa membeli minyak Venezuela. Kedua negara memang
sangat miskin. Menurut Maarten-Jan Bakkum dari ABN AMRO, Kuba sebelumnya sudah
mendapat banyak dukungan dari Venezuela. Dan persetujuan yang sekarang hanyalah
kepastian bahwa sebelumnya minyak murah Venezuela sudah mengalir ke Kuba.
Ketiga
pemimpin juga sepakat bahwa tarif perdagangan diturunkan, karena akan
menggalakkan ekspor. Ini terutama adalah proyek Venezuela, proyek Chavez. Dan
ia punya ambisi besar untuk memperluas pengaruhnya di seluruh wilayah Amerika
Latin untuk menggerakkan anti AS. Dan tentu saja tindakan ekspansionis ini akan
bergerak dari harga minyak, apakah usaha Chavez ini berhasil atau tidak,
pertanyaan terbesar tentu saja apakah lebih banyak negara Amerika Latin yang
akan bergabung dalam blok perdagangan baru tadi. Itu sangat tergantung dari
pemilu presiden dilangsungkan di Peru, Meksiko, Nikaragua, Brazil, dan
Kolombia. Apabila calon-calon kubu kiri menang, maka ini bisa berarti tambahan
dukungan untuk Chavez. Pada saat ini yang paling penting bagi Amerika Latin
adalah pertumbuhan ekonomi Cina yang pesat dan juga negara-negara lain yang
makin butuh bahan-bahan mentah.
Amerika
Latin adalah wilayah dunia yang punya banyak cadangan bahan mentah. Untuk
sejumlah negara ini bukan hanya minyak, tetapi juga produk-produk pertanian
lainnya, seperti bijih besi di Brazil dan tembaga di Chili[19]. Pada saat ini
benua tersebut sedang naik ekonominya, sebagian besar karena banyaknya
permintaan dari Cina dan negara-negara berkembang Bertambahnya permintaan
bahan-bahan mentah sangatlah menunjang rasa percaya diri negara-negara Amerika
Latin mengingat mereka telah memiliki pengalaman yang burk dengan AS dan mereka
akan terus menjaga agar terrorisme AS tidak lagi terulang dan untuk itu, mereka
harus memperkuat hubungan intern di Amerika Latin, berjuang bersama untuk
mengatasi masalah-masalah mereka lepas dari campur tangan AS walaupun tidak
menutup kemungkinan berhubungan dengan negara calon kekuatan dunia baru seperti
Cina. Untuk itu, Amerika Latin memerlukan sosok pemimpin yang berani membela
kepentingan negara dan warganya dan tegas dalam bertindak seperti trio poros
anti AS dari Venezuela, Kuba dan Bolivia.
2.3 Permasalahan yang di Hadapi Amerika Latin
Amerika
Selatan adalah kawasan yang terletak di Benua Amerika sebelah selatan dan
tersambung dengan Amerika Utara melalui Tanah Genting Panama. Wilayah kawasan
Amerika Selatan dapat diidentifikasi berdasarkan klasifikasi konflik atau
permasalahan tertentu berdasarkan beberapa dasar, yakni konflik etnis, ideology
politik, ekonomi perdagangan, keamanan, dan hubungan luar negeri.
2.3.1 Konflik Etnis di Amerika Selatan
Secara
psikologi, etnis memiliki definisi yaitu kelompok masyarakat yang terikat oleh
kesamaan tertentu dan berbeda dengan kelompok yang lain. Mereka diikat oleh
budaya yang mereka pertahankan dan perjuangkan secara bersama-sama. Untuk
kawasan Amerika Selatan sendiri, sedikit berbeda dengan negara kita Indonesia.
Di Indonesia, meski hanya sebuah negara, tapi terdiri dari berbagai etnis
berbeda. Hal ini disebabkan karena kita diikat oleh budaya-budaya dan suku yang
berbeda tergantung dari wilayah kita. Sedangkan di Amerika Latin, mereka sebagian
besar hanya terkelompok dalam suku Indian. Sehingga etnisitas di Amerika Latin
memiliki sifat yang cukup homogeny. Adapun kelompok-kelompok masyarakat yang
terbentuk lebih banyak karena latar belakang pergerakan dan kepentingan yang
sama.
Secara
gamblang, jika kita mengutip James Petras, seorang akademisi dan aktivis yang
banyak membantu masyarakat tanpa tanah di Brazil, ada tiga gelombang gerakan
sosial yang saling tumpang tindih dan berkaitan dalam 25 tahun belakangan ini.
Gelombang yang pertama, secara gampangnya, muncul pada akhir 1970an hingga
pertengahan 1980an. Pada umumnya, gerakan ini yang kemudian dikenal sebagai
“gerakan sosial baru” (the new social movements), terdiri dari aliansi kekuatan
sosial seperti kalangan aktivis hak asasi manusia, lingkungan, feminis, etnis
dan juga Lembaga Swadaya Masyarakat (NGOs).
Gelombang
kedua, yang berkembang menjadi kekuatan politik yang signifikan, berawal dari
pertengahan 1980an hingga saat ini. Sebagian besar gerakan ini dipimpin dan
terdiri dari petani dan buruh tani, di mana organisasi massanya terlibat dalam
aksi-aksi langsung, dalam upayanya mempromosikan dan melindungi
kepentingan-kepentingan ekonomi dari pendukungnya. Yang paling menonjol dari
gerakan ini gerakan Zapatista (Ejércite Zapatista de Liberación Nacional – ZLN)
di Meksiko, Gerakan Pekerja Pedesaan Tak Bertanah (Movimento dos Trabalhadores
Rurais Sem Terra – MST), gerakan petani koka masyarakat Indian (Cocaleros) di
Bolivia, Federasi Petani Nasional (National Peasant Federation) di Paraguay, Angkatan
Bersenjata Revolusioner Kolombia (Revolutionary Armed Forces of Colombia –
FARC) di Kolombia, dan gerakan petani Indian yang tergabung dalam Konfederasi
Kebangsaan Masyarakat Adat Ekuador (CONAIE) di Ekuador.
Gerakan
ketiga, yang merupakan gelombang gerakan sosial yang lebih baru, berpusat
wilayah-wilayah urban. Di sini, termasuk gerakan massa pekerja pengangguran
berbasis barrio (komunitas) di Argentina, kalangan pegangguran dan kaum miskin
di Republik Dominika, dan penduduk yang bermukim di rumah-rumah gubuk yang
menaruh harapannya di belakang bendera populis yang diusung oleh Hugo Chavez,
presiden Venezulea. Lain daripada itu, ada gerakan urban yang tampilannya
adalah new multi-sectorial movements (gerakan multisektoral baru) yang
melibatkan perjuangan massa yang mengintegrasikan buruh tani dan petani
bertanah menengah dan kecil yang berkembang di Kolombia, Meksiko, Brazil, and
Paraguay.
Jika
kita perhatikan mengenai komposisi, taktik, dan tuntutan yang diperjuangkan
gerakan sosial ini memang bervariasi dan bisa juga berjalan sendiri-sendiri.
Meskipun demikian, kelihatannya ada “kepentingan bersama” yang menyebabkan
mereka bersatu sebagai oposisi terhadap neoliberalisme dan imperialisme.
Tepatnya, mereka melawan ketidakadilan dan penindasan sebagai akibat dari
kebijakan ekonomi rejim neoliberal dan berkembangnya konsentrasi kekayaan
ditangan para elit lokal dan asing. Secara lebih khusus lagi, yang mereka
perjuangkan adalah pembagian tanah dan otonomi nasional bagi komunitas Indian.
Tidak
seperti gerakan Revolusi Sosialisme tahun dekade tahun 1900-an yang lebih
bersifat anti imperialisme dan berbau semangat nasionalis serta menggunakan
kekuatan bersenjata gerilya, Gerakan kebangkitan Sosialisme yang dicanangkan
negara-negara Amerika Latin lahir dari issue kemiskinan dan ketidakadilan
sistem ekonomi yang dalam penilaian mereka sangat kapitalistik dan berpihak
pada segelintir pemilik modal saja. Sehingga dapat dimengerti bahwa
terbangunnya poros anti-AS tersebut betul-betul akan merupakan tantangan besar
atau bahaya nyata bagi pengaruh hegemonis AS di benua Amerika Latin.
2.3.2 Konflik Ideologi Politik di Amerika Selatan
Konflik Ideologi Politik di Amerika Selatan
seringkali dihiasi interaksi antara pihak golongan ‘kanan’ dan ‘kiri’. Amerika
Selatan adalah kawasan yang sangat kental dan terkenal dengan gerakan-gerakan
sosialisnya yang anti terhadap ideology politik neoliberal. Ada beberapa negara
yang memiliki ideology politik yang cukup kental dan kerapkali bisa menjadi
potensi munculnya konflik politik di wilayah negara tersebut. Bolivia,
misalnya. Revolusi pada tahun 1952 yang dipimpin oleh Gerakan Nasionalis
Revolusioner (MNR) berhasil menggulingkan rezim militer kanan dan
menasionalisasi tambang timah terbesar di negeri itu, selain itu reformasi
tanah (land reform) pun mulai digalakkan, dan memberikan hak pilih pada
perempuan dan kaum Indian yang sebelumnya tidak memiliki hak pilih.
Nasionalisasi di berbagai sektor di Bolivia sangat jelas mewakili ideology
politik yang dianut negara tersebut.
Kebijakan politis Bolivia ini jelas
menimbulkan keresahan yang cukup meluas di pihak investor dan
perusahaan-perusahaan asing. Namun, Bolivia sesungguhnya tidak bisa
mengesampingkan kebutuhan mereka akan investor asing. Meski berani dalam setiap
pengambilan kebijakan politisnya, dalam hal ini nasionalisasi sektor-sektor
penting, Bolivia sesungguhnya belum memiliki capital yang cukup untuk mengolah
sektor pertambangan, jika saja korporasi-korporasi swasta sudah merasa sangat
dirugikan dalam setiap kebijakan nasionalisasi Bolivia dan penarikan pajak
negara yang cukup tinggi di Bolivia.
Selain Bolivia, Venezuela pun adalah negara
yang mencatat pergerakan politik cukup jelas dan justru member pengaruh bagi
negara-negara lain di Amerika Selatan. Pada 1998, pemilihan Hugo Chavez sebagai
Presiden Venezuela memberi pengaruh besar akan terjadinya perubahan di daratan
Amerika Selatan. Dan ini bukan hanya menyebarnya pencarian model perekonomian
alternatif dan arah politk yang cocok diterapkan di suatu negara. Satu demi
satu, dari Brasil hingga Argentina, mulai Bolivia sampai Chile, partai-partai
dari kelompok kiri menguasai kantor kepresidenan melalui pemilu-pemilu
demokratis. Dengan perlahan atau lantang, negara-negara tersebut mulai berani
bersuara miring terhadap, bahkan sampai menyingkirkan, model perekonomian
neolib yang didesakkan Konsensus Washington beserta paket institusi kebijakan
sosial dan perekonomiannya.
Sadar bila model neolib hanya menciptakan
marjinalisasi sosio-ekonomi dari mayoritas rakyat, pemerintahan-pemerintahan generasi
baru (sejak Chavez) mulai memadukan kebijakan ekonomi untuk mencapai stabilitas
fiskal dan makro, dengan kebijakan-kebijakan sosial yang difokuskan pada
isu-isu kemiskinan, pengangguran, dan kesehatan. Hasilnya, kita mendengar
adanya harmoni—sebuah orkestrasi yang dimainkan oleh nyaris seluruh
kawasan—tentang stabilitas dan keteraturan (juga kewibawaan) politik,
kesetaraan sosial dan ekonomi, serta kebangkitan umat manusia.
Pemaparan yang saya gambarkan diatas lebih ke
bagaimana ideology negara-negara di Amerika Selatan yang sangat kental
menjunjung tinggi kepentingan rakyat kecil, dalam hal ini petani dan kaum
buruh. Karena kebijakan yang menjunjung tinggi kaum kecil itulah, sehingga
kemudian dapat menimbulkan konflik dengan pihak-pihak investor dan korporasi
asing.
Selain itu, ada juga konflik politk antar
penguasa dalam memperebutkan kursi kekuasaan tertinggi dalam sebuah negara.
Mulai tahun 1954 Jenderal Stroessner berkuasa selama 35 tahun di Paraguay,
setelah di negara itu selama bertahun-tahun terjadi ketidakstabilan politik
akibat sering bergantinya pemerintahan. Kekuasaan rezim otoriternya dibangun di
atas 3 pilar yaitu: Partai Colorado, aparat negara, dan militer (yang sejak
akhir Perang Chaco melawan Bolivia pada tahun 1935 menjadi aktor politik yang
jelas-jelas sangat berperan).
Sementara Jendral Stroessner sukses
menciptakan stabilitas represif sistem politik di Paraguay, perkembangan
politik di Argentina berlangsung secara berubah-ubah. Sejak tahun 1930,
pemerintahan-pemerintahan militer yang dibentuk melalui kudeta dan
presiden-presiden yang terpilih secara demokratis di Argentina berusaha saling
menggeser kedudukan. Tidak ada kekuasaan demokratis yang sungguh-sungguh
berusia lama. Tak satupun presiden terpilih dapat menyelesaikan masa bakti
mereka secara reguler, apalagi sampai bisa menyerahkan jabatan itu kepada
penggantinya yang resmi terpilih. Kudeta tahun 1976 merupakan goncangan keenam
yang berhasil terhadap negara, sejak tahun 1930. Pihak militer Argentina saat
itu merupakan penguasa politik nasional dalam jangka waktu lama.
Konstelasi sejarah di Chilli dan Uruguay
sangatlah berbeda dengan kedua negara di atas. Dalam kurun waktu 143 tahun
sebelum kudeta pada September 1973 (di mana pemerintahan sosialis Allende yang
dipilih secara demokratis digulingkan), Chilli mengalami 4 bulan saja di bawah
pemerintahan junta militer. Fenomena ini tentu saja tidak dapat disejajarkan
dengan hilangnya peran militer sebagai aktor politik. Terutama pada pertengahan
tahun 20-an sampai awal tahun 30-an, mereka membuat pengaruh yang tidak sepele
pada politik nasional. Berbeda dengan itu, militer di Uruguay pada abad 20
hingga akhir tahun 60-an tidak tampil sebagai tokoh politik yang relevan.
Bahkan pada awal 30-an, ketika terjadi masa singkat kediktatoran, mereka juga
tidak memainkan peranan penting.
2.3.3 Konflik Ekonomi
Seperti
halnya negara-negara berkembang lainnya, kawasan Amerika Selatan pun memiliki
kekayaan yang cukup potensial untuk Sumber Daya Alam. Sektor pertanian adalah
sektor yang sangat dibanggakan dan dipupuk dalam budaya masyarakat Amerika
Selatan. Bahkan pergerakan petani pun sampai terbentuk untuk menjaga pergerakan
dan lahan mereka dari pihak kapitalis yang ibaratnya bertujuan untuk mematikan
sektor perdagangan tradisional. Selain itu, Amerika Selatan juga memiliki
potensi yang cukup besar dalam komoditi minyak.
Tahun
1980an merepresentasikan titik balik yang menentukan di Amerika Latin. Krisis
hutang yang merenggut Dunia Ketiga memfasilitasi neoliberalisasi di
negara-negara di Amerika Latin melalui kebijakan restrukturisasi IMF. Dengan
disusul kejatuhan Uni Soviet, saat itu tampak tak ada alternatif yang mungkin
terhadap arus pasang politik kanan. Juga dalam era ini, industri timah di
Bolivia runtuh karena persediaan global yang terlalu banyak (oversupply), yang
terutama dipasok oleh Cina dan Brasil. Dalam konteks tersebut, industri
lalu-lintas narkotika (narcotrafficking) mulai marak. Hal itu pada prinsipnya
dibahan-bakari oleh konsumsi di utara dan didorong oleh naluri bisnis (sense of
entrepreneurialism) yang tak ada duanya di Kolombia, pusat (epicentre) dari
perdagangan obat-obatan terlarang. Perbatasan internasional yang semakin
berpori-pori berkat globalisasi, dan konteks lokal berupa bencana hutang dan
ekonomi, menciptakan atmosfir mengundang bagi kekayaan yang diasosiasikan
dengan maraknya industri lalu-lintas narkotika.
Selain
sektor minyak dan narkotika, Amerika Selatan atau Amerika Latin sangat dekat
dengan isu privatisasi. Seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya, ini
dikarenakan ketika krisis global pada tahun 1990-an, negara-negara di Amerika
Selatan seperti tidak diberi pilihan lain selain menerima bantuan IMF dan WTO
untuk tetap bertahan dalam perekonomian. Pada 1999-2000 ketika diterapkan
rencana privatisasi air di Lembah Cochabamba melalui anak perusahaan Bechtel
Corporation, Aguas de Tunari. Dalam waktu beberapa bulan harga air meningkat
drastis dan memicu aksi-aksi protes yang semakin agresif, termasuk suatu
demonstrasi massal di mana seorang protestan terbunuh dan beberapa lainnya
terluka oleh militer. ‘Perang Air’ ini, sebagaimana biasa disebut, berujung
pada pembatalan kesepakatan privatisasi air. Ia juga memperkuat gerakan
anti-neoliberal yang berlanjut meningkat dalam jumlah dan intensitas.
2.3.4 Konflik Keamanan
Rezim-rezim
militer yang didirikan di Argentina, Chili, dan Uruguay pada tahun 70-an adalah
tergolong dalam tipe otoriterisme birokratis. Mereka beroperasi dengan sebuah
basis ideologi yang mirip yang disebut Doktrin Keamanan Nasional. Dengan
doktrin itu mereka bersikap sebagai penyelamat bangsa dengan tuntutan untuk
melindungi nilai-nilai eropa-kristen dan ingin menghadirkan kembali kedamaian
dan ketertiban. Tentu saja para pimpinan aparat kekuasaan di tiga negara ini
memiliki struktur berbeda. Jika Chilli, segera setelah runtuhnya Allende,
sangat kuat berkiblat pada Jendral Pinochet dan dapat menciptakan kediktatoran
yang berlangsung selama 17 tahun (1973-1990), pihak junta militer Argentina
yang terdiri dari pimpinan tiga divisi angkatan bersenjata membagi-bagi
kekuasaan sejak 1976 sampai 1983. Junta militer ini, bersama-sama dengan
boneka-boneka yang berbeda-beda, hampir tidak menciptakan kesan sebuah blok
kekuasaan yang tertutup. Sebaliknya para penguasa militer Uruguay memanfaatkan
sebagian besar waktu berkuasa mereka (dari 1973 sampai 1985) untuk melakukan
agitasi berkedok orang-orang sipil, sehingga sampai tahun 1981 mereka tidak
pernah menempatkan anggota militer sebagai pimpinan-pimpinan puncak
pemerintahan.
Berbeda
dari 3 negara lain yang dibahas di sini, di Paraguay terdapat sebuah
kediktatoran tradisional yang patrimonial dan berciri khas Amerika Tengah,
khususnya ciri Karibia. Rejim Stroessner mengikat elemen-elemen pemerintahan
militer dengan beberapa ciri khas kediktatoran yang berkiblat pada perseorangan
pada gaya lama Caudillo, yang memperoleh dukungan ekstra melalui sebuah partai
negara.
2.3.5 Konflik Eksternal (Hubungan Luar Negeri)
Untuk
masalah-masalah hubungan luar negeri sendiri, negara-negara di Amerika Selatan
seringkali berkonflik dengan negara-negara liberal kapitalis yang seringkali
disebabkan oleh perbedaan ideology diantara mereka. Negara-negara di Amerika
Selatan, terkhusus negara-negara yang berideologi kiri keras seringkali
menganggap negara-negara Barat tengah mengatur rencana eksploitatif untuk menundukkan
kawasan Amerika Selatan. Negara Barat yang dimaksud di sini adalah Amerika
Serikat dan negara-negara Eropa.
Misalnya
saja Presiden Bolivia Evo Morales sangat marah dan murka atas tindakan dan
sabotase CIA yang melakukan konspirasi menentang kebijakan energi negaranya.
Hal tersebut menjadi pemicu berupa tindakan Presiden Bolivia Evo Morales secara
tegas mengusir seorang pejabat kedutaan besar AS pada hari Selasa 10 Maret
2009. Morales, yang sering menyebut AS sebagai “Imperial”, sebelumnya telah
mengusir duta besar AS dan para pejabat anti-narkotika AS. Jurubicara kedutaan
itu mengatakan Martinez adalah seorang pejabat tingkat menengah dan jabatannya
adalah sekretaris kedua. Morales merasa bahwa perusahaan-perusahaan negara yang
dibangunnya sedang digembosi dan hal ini direncanakan oleh Washington.
Washington terlalu campur tangan dalam penentuan perusahaan energi milik-negara
di Bolivia seperti YPFB.
Tidak
hanya itu, Pada bulan Januari 2009 Presiden Ekuador Rafael Correa juga mengusir
seorang pejabat kedutaan besar AS yang ia tuduh melakukan hal yang sama seperti
di Bolivia. Washiington merasa kurang senang dengan banyaknya pendirian
perusahaan negara dalam menangai kekayaan mineral di negara-negara Amerika
Latin. Washington sering memaksakan kehendak dengan banyak keterlibatan CIA
dalam dial-dial perusahaan-perusahaan minyak di kawasan tersebut. Correa adalah
sekutu dekat Morales, seperti Presiden Venezuela Hugo Chavez, yang mengusir
duta besar AS tahun lalu. Semua ketiga pemimpin sayap kiri itu mengatakan AS
telah campur- tangan dalam politik dalam negeri mereka.
Tahun
2007 yang lalu ketika presiden AS masih dijabat oleh George W Bush yang
berkunjung ke Sao Paolo juga mendapatkan hujatan dari rakyat Brasil yang
bermunculan di sepanjang jalan-jalan utama Sao Paolo. Para pemimpin demontrasi
akan mengajak puluhan ribu orang dalam aksi massa hari ini saat Bush meresmikan
kerja sama energi etanol dengan Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva.
Perusahaan AS di Brasil ini banyak mengambil kesempatan para petani Brasil dan
justru merugikan ekonomi Brasil dalam jangka panjang. Penyerapan tenaga kerja
oleh perusahaan tersebut tidak sebanding dengan matinya lahan penghidupan
petani yang jumlahnya hampir 100 kali lipat.
2.3.6 Permasalahan baru
Energi
telah menjadi salah satu masalah utama dalam dunia modern. Karena begitu
pentingnya semua negara, media komunikasi, sekolah, organisasi internasional,
perusahaan-perusahaan, pasar selalu berbicara tentang energi. Bahkan setelah
Perang Dingin konfrontasi antar negara tidak lagi disebabkan oleh ideologi
tetapi lebih pada persediaan energi dari minyak bumi atau gas. Tidak heran peta
konflik sering terjadi di daerah-daerah kantong energi seperti Gurun Persia,
Laut Kaspia, Nigeria, Angola, Argelia, Sudan, Siberia Utara, Laut China Selatan,
Indonesia dan Venezuela.
Karena
kepentingannya maka masalah energi tidak hanya menjadi masalah studi teknis dan
pasar (reservasi, prospeksi dan eksploitasi) tetapi sudah menjadi kekuatan
politik baru yang dalam dunia media komunikasi sering disebut dengan “politik
perminyakan” atau “diplomasi minyak”. Tidak mengherankan dalam mengambil
keputusan tentang proyek energi, studi teknik atau ekonomi, yang dirasakan
sangat penting, kadang-kadang harus berhenti karena strategi kekuatan politik
antar negara.
Misalnya
dalam dunia politik Benua Amerika relasi antara negara sangat ditentukan oleh
politik perminyakan antara negara penghasil minyak seperti Amerika Serikat,
Venezuela, Mexico, Cuba, Colombia, Brasil, Peru, Ecuador, Argentina, Bolivia
dan Chile. Penemuan reservasi minyak atau gas menjadi point penting dalam
relasi antar negara bahkan bisa menjadi lebih penting daripada kekuatan
militer, strategi diplomatik atau stabilitas pemerintahan.
Relasi
antar negara di Amerika Latin sangat ditentukan oleh negara-negara kantong
sumber energi. Politik integrasi Amerika Latin yang dimulai Hugo Chavez dari
Venezuela misalnya menggunakan sumber energi minyak negara Venezuela sebagai
sumber kekuatan dalam politik kekuasaannya.
Dalam
dunia politik, geopolitik dan relasi internasional, politik perminyakan berada
dalam dua situasi yakni hegemoni kekuasaan yang dimiliki karena memiliki sumber
energi dan penyaluran kekuasaan dengan atau dari negara lain karena relasi yang
didasarkan pada sumber energi. Walaupun kedua situasi ini sangat berbeda tetapi
dalam kenyataannya keduanya tidak bisa dipisahkan dalam dunia politik dan
relasi antar negara. Misalnya negara-negara sumber energi merasa memiliki
kekuatan yang lebih karena negara-negara lain bergantung pada sumber-sumber minyak
yang mereka miliki. Tidak hanya itu, negara-negara produk minyak atau gas
memiliki kekuatan ekonomi yang mampu mengubah peta kekuatan politik di negara
lain, terutama negara-negara yang bergantung pada minyak mereka, dengan cara
menolong pemerintah yang berkuasa, partai politik tertentu atau pergerakan
politik tertentu. Situasi ini menginsinuasikan bahwa negara-negara kaya sumber
energi bisa membawa kekuatan politik tertentu di negara-negara lain.
Tetapi
juga kekayaan yang sama bisa menjadi lahan perebutan negara-negara besar untuk
mengontrol sumber-sumber energi tersebut bahkan mengintervensi sistim politik
negara sumber energi tersebut. Negara-negara penghasil minyak dan gas selalu
berada dalam perhatian penuh bahkan dalam tekanan dari negara-negara besar. Ini
bisa dilihat dengan jelas pada negara-negara sedang berkembang atau miskin yang
memiliki kantong-kantong energi. Umumnya negara-negara ini bercirikan negara
yang korup, terpecah karena perang sipil, politik yang tidak stabil atau
dipimpin oleh seorang diktator.
Bila
kita melihat situasi energi Amerika Latin dan relasi politik antar negara,
kemungkinan untuk menggunakan minyak sebagai instrumen kekuatan politik dengan
negara lain tidak seluruhnya benar. Karena , pertama, negara-negara Amerika
Latin, kecuali negara-negara Amerika Tengah dan Karibe, memiliki sumber energi
yang besar. Bisa dilihat misalnya Amerika Latin memiliki reservasi 10% minyak
dunia, dan Amerika Utara (tidak termasuk Mexico) 2,5%, Afrika 9,3%, Eropa 8%,
Asia 4% dan Eropa Timur 1,6%. Reservasi gas yang mereka miliki kecil, hanya 4%
dari reservasi gas dunia. Namun penggunaan gas untuk energi berada dibawah
rata-rata ini.
Kedua,
dalam materi penawaran dan permintaan minyak mentah dan gas, daerah Amerika
Latin berada dalam situasi yang berbeda. Kekuatan reservasi minyak Venezuela
selalu dibayang-bayangi oleh kekuatan ekspor minyak mentah dari Mexico,
Colombia, Ecuador dan Trinidad Tobago. Argentina dan Bolivia menghasilkan
minyak mentah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pasar internal. Peru dan
Brasil sekarang ini sedang berjalan untuk menjadi negara yang bisa memenuhi
kebutuhan energi dalam negerinya sendiri (dan ini akan mengubah peta energi di
wilayah ini). Sementara Chile, Paraguay, Uruguay, semua negara Amerika Tengah
kecuali Trinidad Tobago, dan negara-negara di Lautan Karibea menjadi
negara-negara yang membutuhkan pasokan minyak. Di daerah ini hanya Cuba dan
Guatemala yang memproduksi minyak, tetapi negara-negara ini belum mampu
menyuplai kebutuhan dalam negeri mereka sendiri. (Bersambung ke peta kekuatan
minyak Venezuela dan beberapa negara Amerika Latin lainnya)
3.1 Kesimpulan
Semenjak
mendaratnya penjajah baik dari Portugis maupun Spanyol, rakyat Amerika Latin
merasa dirugikan. Karena penjajah hanya ingin menguasai sumber daya alam di
sana untuk nantinya dikirim ke Negara induk dalam menunjang perekonomiannya.
Hak azasi manusia saat itu tidaka lagi diperdulikan.hal inilah yang nantinya
memunculkan semangat perjuangan untuk mendapat kemerdekaan. Pada umumnya
penyebab munculnya perjuangan kemerdekaan ini ada dua macam faktor, yakni
faktor intern dan faktor ekstern.
Perkembangan
politik di Amerika Latin lebih banyak dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan luar
seperti Spanyol, Portugis dan Amerika Serikat, serta oleh munculnya teori-teori
geopolitik seperti Mackinder dengan “Heartland Theory”. Teori geopolitik telah
menyebabkan negara-negara Amerika Latin melakukan tindakan politik yang
disesuaikan dengan kondisi geografis wilayahnya. Menurut penulis, tidak hanya
kekuatan luar yang sebenarnya mempengaruhi dinamika politik di Amerika Latin.
Hal ini juga didorong oleh gagalnya partai politik tradisional untuk memenuhi
keinginan masyarakat. Dibuktikan oleh munculnya partai sayap kiri di Brazil
yang berasal dari gerakan petani dan penduduk asli untuk menghadapi gagalnya
partai Partido dos Trabalhadores yang muncul mewakili rakyat buruh untuk memenuhi
janji kampanye pemilunya (Morgenstern & Nacif, 2003).
DAFTAR PUSTAKA
Mukmin,
Hidayat. 1980. Pergolakan di Amerika Latin dalam Dasawarsa Ini. Jakarta: Ghalia
Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar